Aceh Tamiang Masih Terisolasi Total Usai Banjir Bandang, Netizen Ramai-Ramai Minta Pertolongan!

Dinda Rachmawati Suara.Com
Rabu, 03 Desember 2025 | 10:21 WIB
Aceh Tamiang Masih Terisolasi Total Usai Banjir Bandang, Netizen Ramai-Ramai Minta Pertolongan!
Kondisi Banjir Bandang di Aceh Tamiang (Dok. Istimewa)
Baca 10 detik
  • Netizen ramai memposting kondisi Aceh Tamiang yang terisolir berhari-hari tanpa bantuan setelah banjir bandang, memicu kritik terhadap pemerintah.
  • Warga Aceh Tamiang putus asa karena enam hari tanpa logistik, sementara kunjungan Prabowo dinilai tidak menyasar wilayah terdampak terparah.
  • Pesan warga yang meminta pertolongan viral, menyoroti minimnya penanganan dan kewalahan pemerintah dalam menghadapi banjir besar di Aceh Tamiang.

Suara.com - Aceh Tamiang menjadi salah satu wilayah paling parah terdampak banjir bandang yang meluluhlantakkan sejumlah provinsi di Sumatera pada akhir November 2025. 

Saat air bah merendam rumah, memutus jalur darat, dan mematikan sinyal, warga terjebak dalam kondisi mencekam, tanpa makanan, tanpa air bersih, tanpa akses kesehatan. Namun lebih dari itu, mereka terjebak dalam rasa putus asa.

Pada 1–2 Desember, media sosial dipenuhi tangkapan layar percakapan warga dari grup-grup WhatsApp pedalaman Aceh Tamiang. Isinya bukan sekadar laporan banjir—tetapi teriakan minta tolong:

“Udah kehabisan bahan makanan kami semua par di sini.”

“Belum ada masuk bantuan makanan apapun.”

“Kami gabisa apa-apa di sini. Bantuin media.”

“Lansia banyak di sini. Anak-anak kecil juga.”

“Di kantor camat se adt meninggal.”

Aceh Tamiang Masih Terisolasi, Netizen di Media Sosial Ramai-Ramai Minta Pertolongan! (Dok. Instagram)
Aceh Tamiang Masih Terisolasi, Netizen di Media Sosial Ramai-Ramai Minta Pertolongan! (Dok. Instagram)

Dalam gambar-gambar itu, warga meminta agar pesan mereka disebarkan ke media nasional. “Jangan di kota duluan!” tulis seseorang, menegaskan bahwa bantuan sering kali hanya sampai ke pusat kecamatan, bukan ke kampung-kampung yang terisolasi.

Baca Juga: Update Korban Jiwa di Aceh: 249 Orang Meninggal, 660 Ribu Warga Mengungsi

Postingan-postingan Instagram dan Twitter yang membahas Aceh Tamiang pun meledak:

“Tamiang sudah segawat ini, teman-teman. Kita udah ga bisa berharap sama pemerintah. Sebarkan ke media besar! Mereka butuh bantuan segera.”

Isu ini kemudian menjadi trending, memicu diskusi publik tentang lambatnya respons pemerintah dan minimnya perhatian pusat terhadap daerah yang terkena dampak paling berat.

Tak sedikit netizen di luar Aceh Tamiang juga turut melaporkan masih belum mendapatkan kabar dari sanak saudara mereka yang tinggal di sana.

Seolah membuktikan jika warga Aceh Tamiang benar-benar terisolasi dari kehidupan luar. Padahal sudah hampir seminggu bencana banjir bandang melanda wilayah tersebut 

310 Ribu Warga Terancam, 12 Kecamatan Terisolasi

Data sementara menyebut lebih dari 300 ribu jiwa di Aceh Tamiang terdampak banjir bandang, dengan 12 kecamatan masih terisolasi total. Listrik padam. Sinyal hilang. 

Semua jalur darat lumpuh akibat longsor dan jembatan yang terputus. Perahu evakuasi sangat terbatas. Rumah sakit turut tergenang.

Banyak warga telah 5–6 hari tanpa makanan, hanya bertahan dengan apa yang tersisa. Ibu menyusui kehabisan asupan, lansia sakit tidak bisa dijemput tim medis, dan keluarga-keluarga terjebak di lantai dua rumah karena air belum surut.

Di sejumlah desa, warga mengaku tidak menerima bantuan makanan sedikit pun sejak banjir pertama kali menghantam.

Pemerintah daerah dan relawan bekerja 24 jam, tetapi mereka sendiri mengakui situasinya terlalu besar untuk ditangani secara mandiri. Alat berat tenggelam, jalur logistik putus, dan banyak titik terisolasi tak bisa dijangkau.

Di Tengah Krisis, Kunjungan Presiden Justru Tak ke Tamiang

Puncak kekecewaan publik muncul ketika Presiden Prabowo Subianto tiba di Aceh pada 1 Desember 2025. 

Masyarakat yang mengikuti perkembangan melalui berita berharap kehadiran Presiden dapat mempercepat bantuan ke wilayah terdampak paling parah, yakni Aceh Tamiang.

Namun harapan itu pupus saat Presiden justru memilih meninjau banjir bandang di Aceh Tenggara. Dalam kunjungannya, Presiden berdialog dengan penyintas, meninjau kerusakan jembatan, dan memberikan instruksi penanganan darurat. 

Tapi warga Aceh Tamiang—yang sedang berjuang untuk bertahan hidup—tidak masuk dalam agenda kunjungan tersebut.

Postingan bernada kecewa menyebar cepat, memperkuat kesan bahwa Aceh Tamiang seolah diabaikan, padahal kondisinya darurat kemanusiaan.

Saat Negara Terlambat, Netizen Bergerak

Di tengah nihilnya akses dan lambatnya bantuan, masyarakat Aceh Tamiang justru mengandalkan masyarakat sipil: netizen, jurnalis, influencer, komunitas, dan kelompok kemanusiaan.

Ratusan ribu unggahan meminta perhatian, tagar darurat kemanusiaan bermunculan, akun-akun besar diberi tag massal, warga di luar Aceh saling berbagi kontak relawan dan perahu, media lokal mulai melansir laporan berdasarkan screenshot warga.

Bagi mereka, kehadiran negara adalah bentuk pengakuan bahwa hidup mereka penting. Bahwa penderitaan mereka didengar. Bahwa mereka bukan angka di laporan.

Teriakan warga di media sosial adalah bukti betapa kecilnya ruang antara harapan dan keputusasaan, karena di tengah bencana, waktu adalah nyawa.

Peristiwa banjir bandang di Aceh Tamiang bukan sekadar problem curah hujan ekstrem. Ini adalah cermin rapuhnya sistem penanggulangan bencana nasional, mulai dari infrastruktur, kesiapan logistik, distribusi bantuan, hingga kehadiran pemimpin.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI