- Menteri LH memaparkan hilangnya puluhan ribu hektare hutan Sumatra memperparah dampak siklon tropis Senyar.
- Kerugian hutan signifikan terjadi di Aceh (14.000 ha), Batang Toru (19.000 ha), dan Sumatra Barat (10.521 ha).
- Bencana diperparah lanskap rentan dan curah hujan ekstrem, seperti di Aceh yang mencapai 9,7 miliar kubik air.
Suara.com - Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq membeberkan data kritis terkait penyusutan tutupan hutan di wilayah Sumatra yang terdampak bencana hidrometeorologi baru-baru ini.
Dalam Rapat Kerja bersama Komisi XII DPR RI di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/12/2025), Hanif menyebut hilangnya puluhan ribu hektare hutan turut memperparah dampak siklon tropis Senyar.
Hanif merinci bahwa pengurangan hutan terjadi secara signifikan di Aceh, Sumatra Utara (DAS Batang Toru), hingga Sumatra Barat. Kondisi ini dinilai sangat berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan saat menghadapi curah hujan ekstrem.
"Kemudian kami ingin sampaikan bahwa dalam kondisi tersebut di Aceh terjadi pengurangan tutupan hutan dari tahun 1990 sampai 2024 sebesar 14.000 hektare. Tentu angka ini sangat berpengaruh," kata Hanif dalam rapat.
Kondisi serupa terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru, Sumatra Utara. Hanif mengungkapkan adanya deforestasi yang lebih besar di wilayah tersebut.
"Pada slide nomor 50 di Batang Toru, terdapat pengurangan hutan sampai di angka di slide nomor 51. Ada pengurangan hutan sejumlah 19.000 hektare," paparnya.
Sementara untuk wilayah Sumatra Barat, Menteri LH juga mencatat adanya kehilangan tutupan hutan yang masif.
"Selanjutnya di DAS Sumatra Barat, kita juga kehilangan hutan di angka 10.521 hektare," katanya.
Selain faktor berkurangnya hutan, Hanif menjelaskan bahwa bencana di 23 DAS terdampak di Sumatra juga dipicu oleh karakteristik lanskap yang rentan dan curah hujan yang sangat tinggi.
Baca Juga: Usai Viral! Pria yang Tuding Pinjam Mobil ke TNI untuk Bencana Dipatok Rp2 Juta Akhirnya Minta Maaf
Di Aceh, volume air yang turun bahkan mencapai angka miliaran kubik yang melumpuhkan ekonomi.
"Jadi ini total air yang turun pada hari itu berdasarkan catatan curah hujannya, jadi rata-rata di angka ada 2,6 miliar kubik, kemudian sampai di angka 4,9 miliar kubik. Ini angka yang cukup sangat besar, kalau kita jumlah sampai di angka 9,7 miliar kubik, dalam daerah aliran sungai di Aceh, tentu ini melumpuhkan sendi-sendi ekonomi Aceh, karena airnya menjadi bencana banjir bandang," jelasnya.
Khusus untuk DAS Batang Toru, Hanif menyoroti bentuk lanskap "V" yang diapit oleh wilayah Tapanuli Utara, Tengah, dan Selatan, di mana aktivitas di sisi bukitnya sudah melebihi kapasitas lingkungan.
"Jadi ini memang menjadi khusus untuk das Batang Toru, karena das Batang Toru memiliki karakteristik landscape yang sangat rentan, karena berupa landscape seperti V landscape, kemudian Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan ada di tengah-tengahnya," ujarnya.
"Sementara kegiatan di sisi bukitnya sudah tidak memadai untuk mendukung kapasitas lingkungannya. Sehingga pada saat hujan yang tidak tinggi pun, meskipun pada saat kejadian hutan di Batang Toru tercatatkan di angka 300 mm, artinya ada curah hujan yang cukup ekstrim turun ke situ," sambungnya.
Curah hujan yang lebih ekstrem tercatat di Sibolga, yang menyebabkan longsor dan korban jiwa.
"Kemudian di sebelahnya, Sibolga, itu curah hujannya lebih daripada Batang Toru, tercatatkan hampir 400 mm atau sangat ekstrim, yang kemudian menjadikan Sibolga menjadi rawan longsor yang menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit," pungkasnya.