- DKI Jakarta mencatat 1.096 kasus kekerasan anak hingga November 2025, dengan 56% terjadi di lingkungan rumah.
- Pelaku utama kekerasan sering kali adalah orang terdekat korban, termasuk ayah kandung atau ayah tiri di Jakarta.
- Pemicu kekerasan meliputi kurangnya edukasi pengasuhan, stres ekonomi, dan dampak negatif judi daring (judol).
Suara.com - Rumah seharusnya menjadi surga teraman bagi seorang anak. Namun, sebuah fakta kelam yang diungkap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta justru menunjukkan sebaliknya. Ruang yang seharusnya penuh kehangatan itu kini menjadi lokasi paling dominan terjadinya kekerasan terhadap anak di Ibu Kota.
Data ini bukan sekadar angka, melainkan alarm darurat bagi ribuan keluarga di Jakarta. Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, membeberkan statistik yang sangat memprihatinkan.
Hingga menjelang akhir tahun 2025, laporan yang masuk sudah menembus angka seribu, dengan rumah menjadi episentrum kekerasan.
"Hingga akhir November 2025, Pusat Pelayanan Perempuan dan Anak DKI Jakarta menerima aduan sejumlah kurang lebih 1.096 kasus kekerasan terhadap anak, sebanyak 56 persen terjadi di rumah," ujar Pramono di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (2/12/2025).
Yang membuat situasi ini semakin tragis adalah identitas pelakunya. Kekerasan itu tidak datang dari orang asing, melainkan dari lingkaran terdekat yang seharusnya melindungi.
Pramono menunjuk figur ayah sebagai salah satu pelaku utama dalam lingkaran setan ini.
"Biasanya yang melakukan, termasuk di dalamnya adalah ayah kandung atau ayah tiri," katanya.
Fenomena ini jelas menunjukkan ada sesuatu yang salah secara fundamental dalam unit terkecil masyarakat. Lantas, apa yang sebenarnya memicu orang tua, terutama seorang ayah, tega melakukan kekerasan terhadap darah dagingnya sendiri di balik tembok rumah?
Pola Asuh hingga Judi Online
Baca Juga: Banyak Perempuan Terjebak Hubungan Toxic, KPPPA: 1 dari 2 Orang Pernah Alami Kekerasan Psikologis
![Ilustrasi kekerasan anak dan perempuan. [Ist]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/07/11/10129-ilustrasi-kekerasan-anak-dan-perempuan-ist.jpg)
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat lebih dalam dari sekadar data kasus.
Psikolog dari Universitas Paramadina, Muhammad Iqbal, menjelaskan bahwa fenomena ini adalah puncak gunung es dari berbagai masalah kompleks yang saling berkelindan.
Akar utamanya, menurut Iqbal, adalah minimnya edukasi dan kapabilitas orang tua dalam mengasuh anak.
Banyak orang tua terjun ke dalam peran barunya tanpa bekal yang cukup, belajar secara otodidak, dan tak jarang mengulang pola asuh keliru dari generasi sebelumnya.
"Pengasuhan ini tidak ada sekolahnya makanya perlu peran serta dari pemerintah daerah memberikan anggaran untuk pelatihan pengasuhan anak,” tandas Iqbal saat dihubungi Suara.com, Kamis (4/12/2025).
Faktor kedua yang tak kalah dominan adalah tekanan hidup yang menghimpit. Kesulitan ekonomi, beban pekerjaan, hingga jeratan utang menciptakan stres kronis.