- FSGI mencatat 60 kasus kekerasan di satuan pendidikan sepanjang 2025, meningkat signifikan dari tahun sebelumnya.
- Kekerasan fisik mendominasi dengan 27 kasus, menyebabkan delapan siswa meninggal dunia rentang usia 8 hingga 17 tahun.
- Pelaku kekerasan beragam, melibatkan peserta didik (41,67%), guru (25%), serta kepala sekolah (13,33%) di semua jenjang.
Suara.com - Jelang peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia pada 10 Desember 2025, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) merilis catatan akhir tahun (catahu) yang menunjukkan lonjakan tajam kasus kekerasan di sekolah.
Sepanjang Januari–Desember 2025, tercatat 60 kasus kekerasan, naik signifikan dibanding 2024 yang berjumlah 36 kasus dan 2023 yang hanya 15 kasus.
Dari total 60 kasus itu, terdapat 358 korban dan 126 pelaku. Data dihimpun dari kanal pengaduan FSGI serta pemberitaan media massa.
FSGI mencatat kekerasan fisik mendominasi dengan 27 kasus atau 45 persen dari total. Setidaknya 73 siswa menjadi korban, delapan di antaranya meninggal dunia.
Rentang usia korban tewas antara 8 hingga 17 tahun, dengan lima korban masih duduk di sekolah dasar, dua di tingkat SMP, dan satu siswa SMK berusia 17 tahun.
Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, menegaskan tingginya kasus kekerasan fisik memperlihatkan bahwa sekolah belum menjadi ruang aman bagi anak.
Kekerasan seksual menempati posisi kedua dengan 17 kasus atau 28,33 persen. Jumlah pelaku mencapai 17 orang dan korbannya 127 siswa. Dari deretan pelaku, FSGI menyoroti satu kasus yang melibatkan oknum guru perempuan yang melakukan kekerasan seksual terhadap siswanya yang berusia 16 tahun.
"Kekerasan seksual tidak hanya terjadi sekolah berasrama, tapi juga di sekolah-sekolah umum yang tidak berasrama," kata Retno dalam keterangannya, Minggu (7/12/2025).
Selain itu. Kekerasan psikis berada di posisi ketiga dengan delapan kasus (13,33 persen). FSGI mencatat 37,5 persen korban kekerasan psikis atau tiga siswa memutuskan bunuh diri. Retno menjelaskan bahwa tekanan berkepanjangan yang tidak ditangani membuat korban masuk fase depresi.
Baca Juga: Roy Keane dan Gary Neville Ngamuk Usai Manchester United Ditahan Imbang West Ham
Perundungan tercatat sebanyak empat kasus (6,67 persen). Dua di antaranya berujung pada tindakan balas dendam ekstrem.
Di Aceh Besar, seorang korban bully membakar pondok pesantren. Sementara di Jakarta Utara, ledakan bom di sebuah SMA yang melukai 96 orang juga diduga dilakukan oleh korban bully yang membalas perlakuan tersebut.
Sepanjang 2025 juga terdapat pula satu kasus intoleransi dan diskriminasi (1,67 persen).
Kategori “kebijakan yang mengandung kekerasan” mencatat tiga kasus dengan 55 korban. Salah satunya terjadi di sebuah pondok pesantren di Sidoarjo, ketika mushola yang sedang dibangun ambruk saat tetap digunakan untuk ibadah. Tragedi itu menewaskan 53 santri.
"Kebijakan Ponpes yang tetap mempergunakan mushola untuk ibadah para santri padahal bangunan sedang dalam proses pembangunan sehingga sangat beresiki tinggi ambruk dan membahayakan para santrinya," ucap Retno.
FSGI mencatat bahwa kasus kekerasan terjadi di semua jenjang pendidikan, dari PAUD hingga SMA/SMK. Rinciannya: