- Banjir Sumatra mendorong desakan akuntabilitas publik terhadap menteri terkait izin kehutanan, lingkungan hidup, dan ESDM.
- WALHI menuntut keterlibatan Kementerian ATR/BPN serta evaluasi sistemik atas perencanaan tata ruang pembangunan.
- KLHK memanggil delapan perusahaan beroperasi di DAS Batang Toru dan menghentikan sementara empat di antaranya.
Suara.com - Di tengah ratapan pilu atas ratusan korban jiwa dan kerugian triliunan rupiah akibat banjir bandang di Sumatra, sebuah pertanyaan besar kini menggema di ruang publik, siapa yang harus bertanggung jawab?
Bencana banjir Sumatra bukanlah takdir atau sekadar amukan alam. Banyak pihak meyakini, ini adalah puncak dari akumulasi "dosa ekologis" yang dirancang oleh kebijakan dan kelalaian selama bertahun-tahun.
Kini, sorotan tajam mengarah ke jantung pemerintahan. Desakan agar para menteri terkait dipanggil untuk dimintai keterangan semakin kencang.
Ini bukan lagi soal mencari kambing hitam, melainkan menelusuri jejak rantai tanggung jawab dari izin-izin yang diteken di atas meja, hingga menjadi malapetaka di Daerah Aliran Sungai (DAS) Sumatra.
Lantas, siapa saja menteri yang berada di pusaran tanggung jawab ini?
Menurut ahli, setidaknya ada tiga kementerian yang secara langsung memiliki kewenangan dan regulasi di wilayah hulu yang kini luluh lantak.
Dr. Yuki Wardhana, Dosen Program Studi Ilmu Lingkungan dari Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan Universitas Indonesia (UI), membedah peran masing-masing.
Menurutnya, setiap kementerian memiliki yurisdiksi yang saling berkaitan dalam pengelolaan kawasan.
"Secara regulasi, DAS berada dibawah pengawasan Kementerian Kehutanan," kata Dr. Yuki saat dihubungi Suara.com, Selasa (9/12/2025).
Baca Juga: Ketua Komisi V DPR: Kalau Nggak Mampu, Jangan Malu Minta Bantu Negara Lain Untuk Bencana Sumatra
Kementerian Lingkungan Hidup (LH), lanjutnya, memegang peran krusial dalam aspek perizinan dan pengawasan.
"Kementerian LH mempunyai kewenangan untuk perizinan dan pengawasan lingkungan, termasuk izin lingkungan untuk pengusahaan hutan, perkebunan dan PLTA," jelasnya.
Artinya, kegagalan pengelolaan lingkungan di area konsesi berada di bawah pengawasan mereka.
Sementara itu, peran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga tak kalah penting, terutama terkait infrastruktur energi di sekitar aliran sungai.
"Kementerian ESDM memiliki kewenangan menerbitkan izin PLTA," tambah Dr. Yuki.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban, ia mendesak ketiga menteri untuk segera bertindak.
Menteri Kehutanan didesak melakukan penindakan hukum dan rehabilitasi DAS. Menteri LH harus mengevaluasi izin lingkungan dan memberikan sanksi denda berdasarkan kerugian yang ditimbulkan.
Sementara Menteri ESDM, jika menemukan pelanggaran, harus berani mencabut izin PLTA yang beroperasi di wilayah bencana.
Ada Satu Kementerian Lain

Namun, lingkaran tanggung jawab ini ternyata jauh lebih luas. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut ada satu kementerian lagi yang tak boleh lepas tangan.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian, menegaskan bahwa pertanggungjawaban tidak berhenti pada tiga kementerian tersebut.
"bukan hanya tiga menteri ya... tetapi Kementerian ATR/BPN juga harusnya bertanggung jawab," ujar Uli kepada Suara.com, Selasa (9/12/2025).
WALHI menemukan fakta bahwa di salah satu titik bencana, terdapat perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) yang izinnya berada di bawah kewenangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Evaluasi hingga pencabutan izin tersebut, menurutnya, adalah tanggung jawab penuh kementerian ini.
Lebih dari itu, Uli mendesak adanya langkah koreksi fundamental yang tidak boleh lagi bersifat parsial.
Ia mengkritik respons pemerintah yang dinilainya masih lambat dan terbatas.
"sejauh ini kami melihat yang hanya direspons oleh Kementerian Kehutanan dan KLHK itu kan hanya wilayah di Sumatera Utara gitu ya, tapi di Sumatera Barat, di Aceh itu juga belum tersentuh," ujarnya.
Langkah konkret yang dituntut WALHI adalah sebuah agenda sistemik.
"evaluasi, pencabutan izin, penagihan tanggung jawab pemulihan... dan proteksi wilayah tersebut dengan tidak lagi memberikan izin," tegas Uli.
Menurutnya, model lama di mana pemerintah mencabut izin dari satu perusahaan lalu memberikannya ke perusahaan lain adalah sebuah kekeliruan fatal yang tidak memiliki dimensi perlindungan lingkungan dan keselamatan rakyat.
Bahkan, jejak tanggung jawab ini bisa ditarik lebih jauh hingga ke lembaga perencana pembangunan nasional, Bappenas.
Uli juga menyoroti bagaimana bencana ini tidak lepas dari proses perencanaan tata ruang yang sembrono dan lebih mengutamakan proyek pembangunan ketimbang mitigasi bencana.
"tata ruang itu enggak boleh lagi basisnya itu berdasarkan proyek pembangunan," kritiknya.
Seharusnya, proyek-proyek ekonomi dan pembangunanlah yang harus tunduk pada tata ruang yang disusun berdasarkan peta kerawanan bencana demi melindungi nyawa warga.
Panggil 8 Perusahaan

Di sisi lain, KLH telah memanggil empat dari delapan perusahaan yang beraktivitas di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru pada Senin (8/12/2025) kemarin, untuk memeriksa potensi kontribusi aktivitas usaha terhadap banjir dan longsor di wilayah tersebut.
"Ya, hari ini delapan perusahaan dipanggil secara bergantian. Hari ini empat perusahaan, besok (Selasa hari ini) empat perusahaan, yang memiliki persetujuan lingkungan di dalam Daerah Aliran Sungai Batang Toru," kata Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq, Senin.
Delapan perusahaan yang dipanggil untuk memberikan keterangan kepada Deputi Penegakan Hukum (Gakkum) KLH/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) termasuk PT AR yang bergerak di bidang pertambangan.
Kemudian terdapat PT TPL, PT TN/PT SNP dan PT MST yang bergerak di sektor kehutanan, termasuk pemilik izin konsesi hutan, PTPN III yang bergerak di bidang perkebunan, serta PT NSHE, PT PJMHP, dan PT SGI yang merupakan pengelola proyek energi baru terbarukan.
Hanif sebelumnya sudah memerintahkan penghentian sementara operasi empat perusahaan di DAS Batang Toru termasuk perusahaan sawit, tambang, pembangkit listrik, dan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Penghentian sementara dilakukan untuk melakukan audit lingkungan.
"Hari ini sedang dievaluasi semua. Kemudian yang empat di antaranya, kita lakukan penghentian operasional. Karena disinyalir berkontribusi cukup besar di dalam banjir di Batang Toru," kata Menteri Hanif.
Deputi Bidang Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLH/BPLH Rizal Irawan dalam pernyataan resmi menjelaskan bahwa hasil pantauan udara menunjukkan adanya pembukaan lahan masif yang memperbesar tekanan pada DAS.
"Dari overview helikopter, terlihat jelas aktivitas pembukaan lahan untuk PLTA, hutan tanaman industri, pertambangan, dan kebun sawit. Tekanan ini memicu turunnya material kayu dan erosi dalam jumlah besar. Kami akan terus memperluas pengawasan ke Batang Toru, Garoga, dan DAS lain di Sumatera Utara," kata Rizal Irawan.