suara kasih paham

Ramai Patungan Beli Hutan, Memang Boleh Rimba Dibeli Dan Bagaimana Caranya?

Selasa, 16 Desember 2025 | 19:54 WIB
Ramai Patungan Beli Hutan, Memang Boleh Rimba Dibeli Dan Bagaimana Caranya?
Heboh di media sosial Patungan Beli Hutan. (Suara.com/Aldie)
Baca 10 detik
  • Gagasan publik membeli hutan negara urung terlaksana karena bertentangan dengan UUD 1945 dan pernyataan resmi pemerintah.
  • Konsep penggalangan dana bisa diterapkan pada lahan pribadi menggunakan model *Land Trust* melalui perantara NGO.
  • Viralnya isu ini menandakan adanya krisis kepercayaan publik terhadap kemampuan negara dalam tata kelola kehutanan.

"Di sana, strategi land trust ini akan membutuhkan pihak intermediari (broker) yang biasanya berbentuk NGO sebagai lembaga wali amat yang menjalankan peran menjaga land trustee tersebut," kata I Gusti.

Dalam skema ini, dana publik yang terkumpul digunakan oleh sebuah yayasan atau NGO untuk membeli lahan pribadi yang kritis.
Lahan tersebut kemudian disertifikatkan atas nama yayasan, yang dalam anggaran dasarnya "mengunci" fungsi lahan tersebut untuk konservasi selamanya, mencegahnya dijual kembali untuk kepentingan komersial.

Gerakan Simbolik: Kritik Keras untuk Negara

Terlepas dari kerumitan hukumnya, viralnya seruan ini memiliki makna yang lebih dalam. Para pakar melihatnya sebagai puncak dari kekecewaan dan krisis kepercayaan publik terhadap kemampuan negara dalam mengelola dan melindungi hutan.

"Wajar kekecewaan publik tersebut melihat banjir yang besar dan memakan korban banyak," kata Yuki Wardhana dari UI.

Sentimen ini diperkuat oleh I Gusti Agung. Menurutnya, inisiasi Pandawara menunjukkan "krisis kepercayaan pada institusi pengelola hutan." Ia menambahkan, "Respons ini harus dilihat dari semakin jatuhnya legitimasi negara sebagai trustee (wali amanat) dari hutan sehingga publik merasa membutuhkan lembaga swasta untuk mengelola hutan."

Suara dari parlemen pun menangkap sinyal yang sama. Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan, menyebut fenomena ini sebagai kritik keras terhadap tata kelola kehutanan, meski ia mengingatkan bahwa perlindungan hutan sejatinya adalah kewajiban negara.

Tantangan dan Jalan Tengah yang Lebih Realistis

Ilustrasi hutan hijau di Kalimantan Timur (Kaltim). [Ist]
Ilustrasi hutan hijau di Kalimantan Timur (Kaltim). [Ist]

Jika model Land Trust pada lahan pribadi pun dijalankan, tantangannya tidak sedikit. I Gusti menjabarkan tiga risiko utama: mereduksi hutan menjadi komoditas bernilai uang, potensi eksklusi terhadap warga yang tidak ikut patungan, dan sulitnya menemukan lembaga wali amanat yang benar-benar bisa dipercaya.

Baca Juga: Kelapa Sawit: Sama-sama Pohon, tapi Tak Bisa Gantikan Fungsi Hutan

Lantas, adakah jalan tengah agar energi positif publik ini tidak menguap sia-sia? Para ahli menawarkan beberapa solusi konkret.

1. Model "Blended Financing" atau Pembiayaan Campuran

Yuki Wardhana mengusulkan skema kolaborasi. Masyarakat tetap melakukan patungan, namun dana yang terkumpul tidak untuk membeli, melainkan menjadi "investasi dan biaya operasional dalam pembangunan dan menjaga hutan."

Dalam model ini, pemerintah tetap menjadi pemilik dan penanggung jawab keamanan wilayah, sementara dana publik memperkuat upaya rehabilitasi, patroli, dan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. "Kalau ini bisa dilakukan akan sangat membantu dalam upaya konservasi hutan kita," kata Yuki.

2. Mengalihkan Dana untuk Perjuangan Politik

I Gusti Agung Made Wardhana menawarkan perspektif yang lebih politis. Dana patungan yang masif bisa menjadi kekuatan untuk mengubah kebijakan dari dalam.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI