- Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, menyampaikan sikap resmi organisasi pada Rabu, 24 Desember 2025.
- PBNU menolak keputusan yang bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD/ART) karena dianggap batal demi hukum.
- Solusi konstitusional yang ditawarkan adalah menyelenggarakan Muktamar bersama untuk menyelesaikan seluruh perselisihan organisasi.
Suara.com - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf, secara resmi menyampaikan sikap organisasi menanggapi dinamika kepemimpinan yang berkembang belakangan ini. Pernyataan tersebut disampaikan dalam konferensi pers pada Rabu, 24 Desember 2025.
Dalam kesempatan itu, Gus Yahya menanggapi dokumen Tabayyun Rais Aam serta hasil Musyawarah Kubro di Pesantren Lirboyo yang berlangsung pada Desember lalu. Ia menegaskan bahwa setiap perselisihan di tubuh NU harus diselesaikan secara konstitusional melalui Muktamar, bukan lewat keputusan yang dinilai melanggar aturan dasar organisasi.
"Nah, maka saya akan baca saja surat pernyataan yang sudah saya siapkan," ujar Gus Yahya mengawali pernyataannya.
Gus Yahya kemudian membacakan Surat Pernyataan Nomor: 4937/PB.23/A.II.07.08/99/12/2025 sebagai tanggapan atas dokumen Tabayyun Rais Aam. Dalam pernyataan tersebut, ia menyampaikan sikap resmi PBNU sebagai berikut:
“Setelah mencermati dokumen Tabayyun Rais Aam dengan niat tulus untuk menjaga keutuhan jama'iyyah, saya merasa perlu menyampaikan tanggapan sebagai berikut:
Pertama, Bahwa serangkaian peristiwa dan surat-menyurat yang diuraikan oleh Rais Aam sesungguhnya masing-masing memiliki konteks yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika kita bersedia melihat dan memahami keseluruhan konteks tersebut secara utuh dan jujur, maka akan tampak dengan sangat nyata bahwa keputusan Rapat Harian Syuriyah di Hotel Aston pada 20 November 2025 dan seluruh keputusan turunannya, hingga klaim penetapan Pejabat Ketua Umum, adalah tindakan yang tidak memiliki dasar, bahkan bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), dan dengan sendirinya batal demi hukum.
Oleh karena itu, sebagai mandataris utama yang bertanggung jawab untuk menjaga konstitusi jama'iyyah, saya menolak keputusan tersebut dan seluruh produk lanjutannya, bukan karena kepentingan pribadi, melainkan demi menjaga marwah dan tatanan organisasi yang kita warisi dari para muassis.
Kedua, Terlepas dari semua dinamika yang telah terjadi, saya tidak ingin perpecahan ini berlarut-larut dan merusak rumah besar kita, Nahdlatul Ulama. Energi kita terlalu berharga untuk dihabiskan dalam perselisihan.
Untuk itu, saya mengajak semua pihak, termasuk diri saya sendiri, untuk saling memaafkan dan membuka lembaran baru dengan semangat persaudaraan atau ukhuwah. Mari kita bersama-sama dalam semangat musyawarah menyiapkan Muktamar yang legitimate dan sesuai dengan AD/ART Nahdlatul Ulama sebagai jalan keluar yang terhormat dan konstitusional untuk menyelesaikan semua persoalan dan membawa NU melangkah ke masa depan yang lebih baik.”
Baca Juga: Yahya Cholil Staquf Klarifikasi Dana Rp100 Miliar PBNU, Konsesi Tambang dan Isu Zionis
Usai membacakan pernyataan tersebut, Gus Yahya kembali menegaskan bahwa sejak awal dirinya menginginkan jalan damai atau islah. Namun, ia menggarisbawahi bahwa islah tidak boleh mengorbankan kebenaran dan tatanan organisasi.
“Sekalian, sebagaimana juga telah saya tegaskan dalam kesempatan musyawarah di Pondok Pesantren Lirboyo yang lalu, bahwa sejak awal sejak detik pertama saya menginginkan islah. Saya menyerukan islah,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa islah yang dimaksud harus dibangun di atas kebenaran dan aturan organisasi.
“Ishlah yang saya maksudkan adalah islah yang saya katakan bina'an 'alal haq. Islah yang dibangun di atas kebenaran. Islah yang dibangun di atas prinsip-prinsip tatanan organisasi yang benar. Bukan ishlah yang bina'an 'alal bathil. Bukan islah yang dibuat atas dasar kebatilan-kebatilan atau hal-hal yang tidak benar. Baik menurut standar norma etika, aturan universal, maupun menurut tatanan ketentuan AD/ART.”
Menurut Gus Yahya, persoalan personal dan ketidaknyamanan emosional antar pimpinan seharusnya dikesampingkan demi kembalinya organisasi ke jalur yang benar.
“Islah yang saya maksudkan adalah ishlah untuk kembali pada tatanan, ruju' ilal haq, kembali kepada apa yang benar. Adapun di luar itu, kesalahan-kesalahan pribadi, ketidaknyamanan emosional dan sebagainya satu sama lain, kata-kata yang kurang enak satu sama lain, mari kita saling memaafkan,” tambahnya.