- Seorang guru bernama Nikolas memviralkan perundungan terhadap Cahyo, pemuda tunawicara, memicu kemarahan publik karena menertawakan disabilitas.
- Insiden ini menyoroti kegagalan struktural dalam pendidikan inklusif dan normalisasi diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.
- Parlemen mendesak perbaikan sistemik, mengingat implementasi UU Disabilitas masih rendah dan guru sering menjadi pelaku kekerasan.
Sorotan Parlemen: Bukan Sekadar Kesalahan Individu
Dari Senayan, kritik serupa mengemuka. Anggota Komisi X DPR RI, Habib Syarief, menegaskan bahwa kasus ini tak bisa dilihat sebagai kesalahan personal semata.
"Kasus ini bukan sekadar persoalan etika individu, tetapi mencerminkan persoalan struktural dalam sistem pendidikan dan budaya kita yang belum sepenuhnya inklusif," ujarnya.
Ia menyinggung rendahnya literasi disabilitas di masyarakat, termasuk pemahaman dasar bahwa bahasa isyarat bukan sekadar gerak tangan, melainkan sistem bahasa yang utuh.
"Mengabaikannya sama dengan mengabaikan kemanusiaan penyandang disabilitas,” tegas Syarief.
Pendidikan Inklusif yang Masih Jauh dari Panggang
Secara regulasi, Indonesia sebenarnya tidak kekurangan payung hukum. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah memberi dasar yang kuat. Masalahnya, implementasi di lapangan masih terseok-seok.
Data Komisi Nasional Disabilitas (KND) per Oktober 2025 menunjukkan ironi: hanya 4,3 persen penyandang disabilitas di Indonesia yang mengenyam pendidikan.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matarji, mengaku tidak terkejut dengan munculnya kasus seperti ini.
Baca Juga: BNI Salurkan Bantuan Pendidikan dan Trauma Healing bagi Anak-Anak Terdampak Bencana di Aceh
"Kalau dari yang kami temukan di tahun 2024 itu kekerasan di sekolah itu paling banyak pelakunya justru guru," kata Ubaid kepada Suara.com, Jumat (26/12/2025).
Menurutnya, masalah ini bersifat sistemik—bermula dari kualitas fakultas keguruan yang belum mampu mencetak pendidik berperspektif inklusif, hingga persoalan kesejahteraan dan perlindungan profesi guru yang kian menurun.
Dampaknya terasa nyata di sekolah inklusif. Program yang digadang-gadang sering gagal di lapangan.
"Banyak sekali orang tua yang mulanya menaruh anaknya di sekolah inklusif, tetapi anaknya mendapatkan perlakuan yang diskriminatif. Akhirnya, orang tua ini menarik kembali anaknya," jelas Ubaid.
Kikin dari KND menawarkan pendekatan yang lebih membumi. Menurutnya, sekolah tidak perlu menunggu segalanya sempurna.
"Terima dulu siswa itu, kemudian dalam proses diketahui bersama hambatannya apa, kemudian disikapi bersama bagaimana cara mengatasi hambatan," ujarnya.
