- Seorang guru bernama Nikolas memviralkan perundungan terhadap Cahyo, pemuda tunawicara, memicu kemarahan publik karena menertawakan disabilitas.
- Insiden ini menyoroti kegagalan struktural dalam pendidikan inklusif dan normalisasi diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.
- Parlemen mendesak perbaikan sistemik, mengingat implementasi UU Disabilitas masih rendah dan guru sering menjadi pelaku kekerasan.
Suara.com - Di balik layar ponsel, Cahyo tertawa lepas. Pemuda tunawicara itu sedang bersiaran langsung di media sosial, berusaha berkomunikasi dengan caranya sendiri—penuh gestur, ekspresi, dan semangat. Bagi Cahyo, siaran itu adalah ruang berekspresi sekaligus berinteraksi.
Namun di sisi lain layar, suasananya berubah. Seorang pria berkemeja batik biru, belakangan diketahui bernama Nikolas, guru asal Morowali Utara, Sulawesi Tengah, menirukan gerak bibir dan cara bicara Cahyo. Gesturnya dilebih-lebihkan, mimiknya dibuat lucu. Tawa pun pecah—bukan hanya dari Nikolas, tetapi juga orang-orang di sekitarnya.
Cuplikan video itu menyebar cepat, viral dalam hitungan jam. Bagi sebagian orang, adegan tersebut mungkin tampak seperti candaan yang kebablasan. Namun bagi komunitas disabilitas dan para pegiat hak asasi manusia, video itu terasa seperti tamparan: sebuah perundungan yang dipertontonkan secara terbuka.
Kemarahan publik bukan muncul karena ketiadaan selera humor, melainkan karena yang terjadi bukanlah humor. Ia adalah cermin dari kegagalan yang lebih dalam—cara pandang yang masih menertawakan perbedaan, bukan merayakannya.
Lalu, mengapa candaan yang dianggap “biasa” ini justru memantik reaksi sebesar itu?
Di Mana Batas antara Candaan dan Penghinaan?
Dalam kehidupan sosial, candaan kehilangan maknanya ketika ia menargetkan kondisi inheren seseorang—terutama mereka yang berada dalam posisi rentan. Saat disabilitas dijadikan objek tawa, niat bercanda menjadi tak relevan. Dampaknya tetap sama: kekerasan simbolik.
Ejekan semacam ini memperkuat stigma bahwa menjadi “berbeda” adalah sesuatu yang lucu dan pantas ditertawakan, alih-alih dipahami sebagai bagian dari keberagaman manusia.
Sorotan semakin tajam karena pelaku adalah seorang guru. Seorang pendidik seharusnya berada di garis terdepan dalam menanamkan empati dan penghormatan terhadap sesama. Permintaan maaf Nikolas memang penting, tetapi luka psikologis dan pesan sosial yang telanjur tersebar tak bisa serta-merta dihapus.
Baca Juga: BNI Salurkan Bantuan Pendidikan dan Trauma Healing bagi Anak-Anak Terdampak Bencana di Aceh

Dampak Psikologis dan Bahaya Normalisasi Diskriminasi
Bagi penyandang disabilitas seperti Cahyo, menjadi bahan ejekan di ruang digital publik bukan perkara sepele. Pengalaman semacam ini dapat memicu trauma, meruntuhkan rasa percaya diri, menumbuhkan rasa malu, bahkan mendorong penarikan diri dari interaksi sosial.
Komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND), Kikin P. Tarigan, menilai insiden ini sebagai sinyal bahaya.
"Kekhawatiran kita kan penyandang disabilitas merasa tidak mendapatkan tempat yang nyaman di dalam dunia pendidikan," ujar Kikin kepada Suara.com, Jumat (26/12/2025).
Padahal, lanjutnya, dunia pendidikan seharusnya menjadi ruang awal yang aman. Ia adalah “tempat pertama ketika penyandang disabilitas itu bersosialisasi di luar keluarga.”
Ketika justru seorang guru menjadi pelaku, pesan yang sampai ke publik menjadi keliru: diskriminasi seolah wajar. Inilah inti dari normalisasi—ketika ejekan berubah menjadi tontonan, dan stigma direproduksi terus-menerus, terutama di hadapan anak-anak dan remaja yang menyerapnya tanpa filter nilai.
Sorotan Parlemen: Bukan Sekadar Kesalahan Individu
Dari Senayan, kritik serupa mengemuka. Anggota Komisi X DPR RI, Habib Syarief, menegaskan bahwa kasus ini tak bisa dilihat sebagai kesalahan personal semata.
"Kasus ini bukan sekadar persoalan etika individu, tetapi mencerminkan persoalan struktural dalam sistem pendidikan dan budaya kita yang belum sepenuhnya inklusif," ujarnya.
Ia menyinggung rendahnya literasi disabilitas di masyarakat, termasuk pemahaman dasar bahwa bahasa isyarat bukan sekadar gerak tangan, melainkan sistem bahasa yang utuh.
"Mengabaikannya sama dengan mengabaikan kemanusiaan penyandang disabilitas,” tegas Syarief.
Pendidikan Inklusif yang Masih Jauh dari Panggang
Secara regulasi, Indonesia sebenarnya tidak kekurangan payung hukum. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah memberi dasar yang kuat. Masalahnya, implementasi di lapangan masih terseok-seok.
Data Komisi Nasional Disabilitas (KND) per Oktober 2025 menunjukkan ironi: hanya 4,3 persen penyandang disabilitas di Indonesia yang mengenyam pendidikan.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matarji, mengaku tidak terkejut dengan munculnya kasus seperti ini.
"Kalau dari yang kami temukan di tahun 2024 itu kekerasan di sekolah itu paling banyak pelakunya justru guru," kata Ubaid kepada Suara.com, Jumat (26/12/2025).
Menurutnya, masalah ini bersifat sistemik—bermula dari kualitas fakultas keguruan yang belum mampu mencetak pendidik berperspektif inklusif, hingga persoalan kesejahteraan dan perlindungan profesi guru yang kian menurun.
Dampaknya terasa nyata di sekolah inklusif. Program yang digadang-gadang sering gagal di lapangan.
"Banyak sekali orang tua yang mulanya menaruh anaknya di sekolah inklusif, tetapi anaknya mendapatkan perlakuan yang diskriminatif. Akhirnya, orang tua ini menarik kembali anaknya," jelas Ubaid.
Kikin dari KND menawarkan pendekatan yang lebih membumi. Menurutnya, sekolah tidak perlu menunggu segalanya sempurna.
"Terima dulu siswa itu, kemudian dalam proses diketahui bersama hambatannya apa, kemudian disikapi bersama bagaimana cara mengatasi hambatan," ujarnya.
Humor yang Berempati
Kasus Cahyo dan Nikolas menjadi pengingat pahit di era digital: setiap tindakan memiliki konsekuensi. Ini bukan soal membungkam tawa, melainkan menuntut humor yang lebih beradab—humor yang berempati, yang memanusiakan, bukan menertawakan.
Sejalan dengan desakan parlemen, pemerintah didorong untuk bergerak lebih konkret: mengintegrasikan bahasa isyarat ke dalam kurikulum, memperkuat regulasi turunan UU Disabilitas, dan memastikan pendidikan inklusif tak berhenti sebagai jargon.
Sebab pada akhirnya, ukuran sebuah bangsa bukan ditentukan oleh seberapa keras ia tertawa, melainkan oleh bagaimana ia memperlakukan mereka yang paling rentan di dalamnya.
