- Pemerintah sejak awal disebut memusatkan perhatian publik pada program-program nasional yang bertujuan mempercepat pertumbuhan ekonom.
- Dari perspektif kelembagaan, sejumlah risiko struktural perlu mendapat perhatian.
- Berdasarkan analisis tersebut, beberapa rekomendasi kebijakan dirumuskan secara pragmatis.

Ketiga, kebijakan ekonomi pemerintahan awal ini menghadapi trade-off yang kompleks antara dorongan pertumbuhan jangka pendek dan stabilitas makro jangka menengah.
Pemerintah menempatkan percepatan pertumbuhan sebagai prioritas dan menggunakan instrumen fiskal ekspansif untuk merangsang permintaan domestik.
Paket stimulus fiskal dan program distribusi langsung dapat menurunkan tekanan sosial sesaat dan meningkatkan konsumsi. Namun, langkah-langkah ini juga mempersempit ruang fiskal dan meningkatkan kerentanan terhadap tekanan inflasi.
Dalam konteks tersebut muncul risiko keretakan koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter: apabila kebijakan fiskal yang ekspansif bertabrakan dengan keharusan menjaga stabilitas harga, maka tekanan terhadap independensi otoritas moneter menjadi nyata.
Ketidakjelasan kerangka pembiayaan, dan komunikasi yang kurang rapi antara pembuat kebijakan fiskal serta moneter, dapat menurunkan kredibilitas pengelolaan ekonomi dan menimbulkan ketidakpastian di kalangan pelaku pasar.
Keempat, dimensi demokrasi dan kebebasan sipil menjadi ujian penting kualitas pemerintahan. Tahun pertama pemerintahan ini, menyaksikan gelombang protes publik yang mengekspresikan ketidakpuasan terhadap sejumlah kebijakan dan menuntut akuntabilitas.
Respons aparat keamanan terhadap ekspresi publik tersebut—termasuk penggunaan taktik penegakan yang keras dan penahanan massal dalam beberapa kasus—mengangkat pertanyaan tentang keseimbangan antara pemeliharaan ketertiban dan perlindungan hak-hak sipil.
Ketika narasi pembangunan dan stabilitas menjadi prioritas utama, terdapat kecenderungan untuk menempatkan kontrol keamanan sebagai cara meredam kritik. Tapi, kebijakan seperti itu, apabila berulang, berpotensi mengikis ruang partisipasi publik dan mekanisme korektif yang diperlukan untuk pembelajaran kebijakan.
Erosi ruang-ruang demokrasi lokal mempersulit pengawasan publik terhadap kebijakan yang salah arah, dan mengurangi kapasitas masyarakat untuk memberi sinyal perbaikan sejak dini.
Baca Juga: 1 Tahun Prabowo-Gibran, Kemensos Klaim 77 Ribu Warga Miskin Sudah Mandiri: Tak Lagi Terima Bansos
Kelima, posisi wakil presiden menimbulkan refleksi tersendiri tentang fungsi formal maupun politiknya dalam presidensi yang kuat.
Wapres hadir sebagai figur yang membawa simbol regenerasi dan kontinuitas politik, tapi peran strategisnya dalam menentukan kebijakan makro belum tampak dominan.
Banyak penugasan yang bersifat representasional dan implementatif—kunjungan daerah, pembukaan program, dan aktivitas-aktivitas yang memperlihatkan kedekatan dengan publik.
Fungsi seperti ini berguna untuk menjaga citra pemerintahan dan merangkul basis elektoral tertentu, namun tidak selalu menunjukkan pengaruh kebijakan di tingkat inti pengambilan keputusan.
Pertanyaan normatif yang muncul adalah apakah jabatan wakil presiden diarahkan untuk memperkuat kapasitas birokrasi dan reformasi institusional, atau cenderung menjadi instrumen manuver politik dan representasi semata.
Dari perspektif kelembagaan, sejumlah risiko struktural perlu mendapat perhatian.