Membangun Proyeksi Demokrasi Indonesia, Mungkinkah?

Dwi Bowo Raharjo Suara.Com
Selasa, 28 Oktober 2025 | 12:44 WIB
Membangun Proyeksi Demokrasi Indonesia, Mungkinkah?
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang Cusdiawan. (Foto dok. pribadi/Suara.com)
Baca 10 detik
  • Hanya dalam rezim demokratis-lah yang memungkinkan bagi kita untuk melakukan interupsi terhadap segala ketidakadilan.
  • Kajian mengenai demokrasi Indonesia menarik perhatian banyak ilmuwan, dan memantik perdebatan ilmiah dalam wacana akademik global.
  • Dari peta akademik yang ada, maka kita akan tahu bahwa analisis struktur kekuasaan akan menemukan relevansinya.

Suara.com - Mendengar term demokrasi, yang terlintas dalam imaji saya ketika masih duduk di sekolah menengah adalah suatu “masyarakat ilmiah” yang mana setiap warga negara bisa dan terbiasa memperdebatkan argumentasi secara rasional. Sebab itu, demokrasi mengandaikan kekuatan diskursus, dan bukannya kekerasan, bukan juga kekuataan uang.

Apa yang diandaikan dalam demokrasi adalah kekuataan reason, dan salah satu indikator kesuksesan demokratisasi adalah dengan tumbuhnya penalaran publik.

Namun, secara de facto, sebagaimana yang ditulis oleh James Miller dalam Can Democracy Work? A Short History of a Radical Idea from Ancient Athens to Our World (2018), bahwa sepanjang episode sejarah demokrasi yang membentang dari era klasik hingga modern, praktik demokrasi kerap menghadirkan kontradiksi, bahkan kekecewaan.

Lalu apa saja kontradiksi dan kekecewaan itu terutama bila merujuk pada pengalaman Indonesia? Tulisan ini mengelaborasi pertanyaan tersebut lebih lanjut.

“Cacat Bawaan” Demokrasi

Miller (2018) menulis bahwa tantangan dalam demokrasi “are manifold and perhaps intractable”. Beragamnya tantangan dan mungkin sulit teratasi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Miller tersebut barangkali berkaitan erat dengan cacat bawaan dalam demokrasi itu sendiri. Itu artinya, berbagai masalah dalam demokrasi justru memang dimungkinkan di dalam sistem demokrasi itu sendiri sebagai salah satu konsekuensi logisnya.

Dalam konteks pengalaman Indonesia misalnya, dan di banyak negara lainnya, demokrasi bukan hanya rentan terjadi “tirani mayoritas”, tetapi juga sekelompok kecil elite yang begitu mendominasi ekonomi dan perpolitikan, dan kepentingan private mereka tadi sanggup mengintervensi apa-apa yang menyangkut kehidupan publik.

Diskursus yang diandaikan dalam demokrasi, secara brutal dan tragis digantikan oleh “transaksi di pasar gelap”; kekuatan pikiran digantikan oleh kekuatan uang. Suatu kondisi yang jika terus berlarut maka bukan tidak mungkin menjadi suatu “bom waktu” karena melahirkan suatu krisis legitimasi yang bisa berujung gelombang protes, dan berpotensi melahirkan kekerasan dan darah. Padahal yang diandaikan dalam demokrasi adalah pertarungan wacana komunikatif .

Namun, terlepas dari kontradiksi dan kekecewaan terhadap demokrasi yang tersaji sepanjang sejarah, termasuk bila mengacu pada pengalaman Indonesia.

Baca Juga: PVRI: Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Tanda Kembalinya Bayang-Bayang Orde Baru?

Saya berpandangan bahwa hanya dalam rezim demokratis-lah yang memungkinkan bagi kita untuk melakukan interupsi terhadap segala ketidakadilan dan praktik penyelewengan.

Peta Akademik Demokrasi Indonesia

Kajian mengenai demokrasi Indonesia menarik perhatian banyak ilmuwan, dan memantik perdebatan ilmiah dalam wacana akademik global. Edward Aspinall dan Marcus Mietzner dalam Problems of Democratisation in Indonesia: An Overview (2010) berusaha untuk memetakan bagaimana pandangan ilmuwan mengenai perkembangan demokrasi Indonesia.

Keduanya menyebut, berbeda dengan era Soeharto yang lebih mudah diidentifikasi terkait tipe rezim pemerintahan dan sistem politiknya, era pasca-Soeharto justru lebih kompleks sehingga tidak ada term yang diterima secara luas di kalangan pengkaji ilmu sosial.

Pada periode pasca-Soeharto, ketika ilmuwan menyebut Indonesia sebagai negara demokrasi, mereka biasanya mengkualifikasi kata benda tersebut dengan berbagai imbuhan kata sifat seperti kolusif atau delegatif, terkonsolidasi tetapi patrimonial, berkualitas rendah dan sebagainya.

Ilustrasi politik dinasti, demokrasi, menyampaikan pendapat. (Foto: Ist)
Ilustrasi politik demokrasi. (Foto: Ist)

Namun, keduanya menyebut bahwa setidaknya ada tiga perspektif besar dalam memandang demokrasi Indonesia. Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa perkembangan demokrasi Indonesia sangat dinamis dan sebab itu dipandang positif.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI