Berdasarkan target tersebut, maka per Maret 2022 ini jumlah kendaraan listrik Indonesia baru mencapai sekitar 0,76% dari target RUEN 2025 dan 0,073% dari target GSEN 2030. Jika memang pemerintah masih ingin mengacu pada rencana tersebut, perlu adanya formulasi strategi yang tepat khususnya dalam penyediaan hard infrastructure atau tempat pengisian daya listrik dan soft infrastructure (regulasi dan insentif).
Jika tidak ada intervensi kebijakan, maka target yang dipasang pemerintah akan sulit tercapai.
Faktor kunci: pembenahan stasiun pengisian baterai dan regulasi pendukung
Studi di Norwegia sebenarnya masih selaras dengan survei minat pada kendaraan listrik di Indonesia yang dilakukan oleh BMW Asia tahun 2021. Sebanyak 93% responden bersepakat bahwa kunci keberhasilan peralihan masyarakat Indonesia dalam penggunaan kendaraan listrik pada ketersediaan layanan purna jual, termasuk kemudahan akses kepada stasiun pengisian baterai listrik (26%).
Untuk percepatan penyediaan stasiun pengisian baterai, pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mengeluarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 13 Tahun 2020 yang mengatur penerapan stasiun pengisian baterai listrik di Indonesia. Dalam regulasi tersebut telah ditetapkan tiga tipe konektor yang disyaratkan pada stasiun baterai yaitu AC Charging Tipe 2, DC Charging CHAdeMo, dan DC Charging Combo (AC-DC) Tipe CCS2.
Namun, hingga artikel ini ditulis, ternyata aturan kewajiban tiga tipe konektor pada stasiun pengisian baterai masih menjadi penghambat. Aturan tersebut di satu sisi memberikan kemudahan konsumen dalam memilih konektor. Namun, di sisi lain, aturan ini akan menyulitkan penyedia layanan stasiun baterai untuk mempercepat ekspansi dan perolehan izin pengoperasian stasiun baterai listrik berbayar.
Kementerian ESDM kabarnya akan menghapus kewajiban tiga konektor tersebut sehingga dapat memberikan fleksibilitas tipe konektor bagi penyedia layanan stasiun baterai listrik.
Percepatan penyediaan stasiun pengisian baterai listrik juga perlu dilakukan dengan meningkatkan produksi dalam negeri. Dari sisi pengembangan teknologi, upaya mengembangkan stasiun pengisian baterai karya peneliti dalam negeri juga telah dilakukan BRIN.
Selain menggandeng pihak industri dalam mengembangkan stasiun pengisian baterai cepat, BRIN juga mengembangkan aplikasi pengelolaan stasiun pengisian baterai pintar bernama SONIK yang diharapkan mampu menjadi jawaban tantangan ketidakefisienan distribusi listrik di kawasan stasiusn.
Baca Juga: Lima Carmaker Jepang Berkolaborasi Ekosistem EV di Bali, Ini Teknologi Mobil Listrik Mitsubishi
Selain mempercepat pengembangan stasiun, regulasi-regulasi pendukung yang memberikan insentif bagi pengguna kendaraan listik juga perlu terus digalakkan. Contohnya, Peraturan Menteri Dalam Negeri No 40 Tahun 2021 yang mengatur insentif pajak kendaraan dan bea balik nama kendaraan listrik paling besar 10% atas dasar pengenaan.
Aturan lainnya di daerah, misal Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 88 Tahun 2019 yang mengatur kendaraan listrik bebas dari aturan ganjil-genap juga patut diapresiasi sebagai bentuk insentif penggunaan kendaraan listrik di kota-kota besar.
Kebijakan yang tidak kalah penting adalah skema-skema kebijakan diskon listrik untuk pengisian kendaraan listrik dari PLN harus terus diformulasikan agar tingkat pemakaian kendaraan listrik dapat terus meningkat dan dapat bersaing dengan kendaraan ber-BBM.
Pengawasan juga penting
Lembaga Inspeksi Teknik Kementerian ESDM yang mengawasi kelayakan operasional SPKLU juga harus aktif dan diandalkan. Tanpa adanya pengawas maka layanan yang diberikan kepada pengguna kendaraan listrik dapat “dipermainkan”. Misal tidak ada perbaikan segera untuk unit yang rusak atau daya yang diberikan tidak sesuai spesifikasi.
Sebagai contoh, setiap SPBU Pertamina diawasi oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat. Harapannya, kewenangan Kementerian ESDM ini juga pun bisa dikolaborasikan dengan pihak lain khususnya pemerintah daerah.