Suara.com - Bayangkan sebuah hari yang tampaknya biasa saja berubah menjadi momen mencengangkan di kantor samsat. Seorang pengendara wanita yang berniat melakukan rutinitas sederhana - membayar pajak kendaraan - justru disambut kabar mengejutkan: STNK kendaraannya terblokir akibat 61 tilang elektronik yang tak pernah ia ketahui sebelumnya.
Di era serba digital ini, Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) hadir sebagai mata elektronik yang tak pernah tertidur di jalanan kota. Melalui jaringan CCTV canggih yang tersebar di berbagai sudut strategis, setiap pelanggaran lalu lintas terekam dengan presisi - dari aksi menerobos lampu merah hingga penggunaan jalur yang tidak sesuai aturan.
Kisah viral yang dibagikan melalui akun Instagram @perspekshit ini segera menarik perhatian publik. Dalam sekejap, cerita ini jadi viral dan menyulut diskusi hangat di media sosial.
"Gaada surat yang dianter ke rumah, pas mau bayar pajak udah ke blokir karena udah 61x pelanggaran, menyala ETLE," tulis pengendara tersebut dalam curhatannya.
Awalnya beredar kabar bahwa total denda mencapai Rp15 juta, namun angka ini masih menunggu kepastian melalui proses sidang.
Yang lebih mengejutkan, ternyata kasus ini bukan fenomena tunggal. Berbagai pengalaman serupa bermunculan dari para warganet - ada yang terkena 6 tilang tanpa pemberitahuan, bahkan ada yang mendapati 27 tilang elektronik meski hanya menerima satu surat tilang.
Situasi ini memunculkan tanda tanya besar tentang efektivitas sistem notifikasi ETLE.
Kejadian ini menyoroti beberapa aspek krusial dalam penerapan sistem tilang elektronik modern.
Pertama, sistem notifikasi yang andal dan real-time adalah kunci. Apa gunanya teknologi canggih jika pelanggaran baru diketahui berbulan-bulan kemudian? Seharusnya, setiap pelanggaran langsung diberitahu kepada pemilik kendaraan agar tindakan korektif bisa segera diambil. Tanpa notifikasi yang tepat waktu, sistem ini justru menumpuk masalah.
Baca Juga: Kisah Unik yang Bikin Heran, Tukang Parkir Kena Tilang Elektronik Gegara Tak Pakai Helm
Kedua, sosialisasi yang belum maksimal membuat masyarakat belum benar-benar paham bagaimana mekanisme ETLE bekerja. Banyak yang belum tahu ke mana harus mengecek status pelanggaran, bagaimana cara membayar denda, atau bahkan dari mana pelanggaran itu berasal. Edukasi publik harus menjadi prioritas, bukan sekadar peluncuran teknologi baru.
Ketiga, perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemberitahuan pelanggaran. Jangan sampai surat tilang hanya nyasar ke alamat lama karena data kendaraan tak diperbarui. Di sinilah pentingnya sinkronisasi antara data kependudukan dan data kendaraan bermotor.
Bagi masyarakat, kisah ini menjadi pengingat keras untuk lebih cermat dalam berlalu lintas. Di era digital, setiap pelanggaran terekam tanpa ampun, dan konsekuensinya bisa muncul tiba-tiba saat kita paling tidak siap.
Pihak kepolisian terus berupaya menyempurnakan sistem, termasuk menyediakan aplikasi mobile dan website untuk pengecekan status tilang.
Kasus ini jadi pengingat penting bagi kita semua bahwa era digital dalam penegakan hukum lalu lintas membutuhkan kejelian dan tanggung jawab ekstra dari para pemilik kendaraan. Kini, bukan cuma SIM dan STNK yang harus aktif, tapi juga data pribadi yang harus selalu up to date. Setiap kali pindah rumah atau ganti nomor HP, jangan lupa laporkan ke Samsat atau sistem yang berlaku.
Teknologi memang memudahkan, tapi tetap butuh kita yang bijak menggunakannya. Kecanggihan e-tilang, kamera pengawas, dan sistem terintegrasi hanya akan efektif jika didukung data yang akurat.