“Tentunya untuk itu kita juga perlu melihat upaya mengurangi ketergantungan batubara melalui beberapa upaya. Misalnya melihat perkembangan teknologi ke depan, potensi energi hidrogen untuk mencukupi kebutuhan transportasi, industri, pembangkit tenaga listrik,” kata Rachmat dalam Konferensi Pers The 4th Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021, Senin (20/09/2021) secara virtual.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan transisi energi terbarukan tersebut perlu menunggu Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
“Kita selesaikan dulu RUPTL, didalami dulu dari sisi anggaran, apakah perlu APBN atau biaya penggantian. Kemudian kita sounding ke Kemenkeu untuk Perpres Energi Baru Terbarukan (EBT). Ini sudah proses, sebentar lagi RUPTL selesai dibahas, lalu di Kemenkeu hanya dari sisi perhitungan anggaran saja,” kata Dadan.
Di samping itu, integrasi energi terbarukan tersebut perlu didukung dengan solusi untuk mengatasi oversupply dari pembangkit listrik. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan kondisi oversupply bisa diatasi bersamaan dengan upaya dekarbonisasi mendalam di sektor industri dan bisnis.
“Solusinya aksi mitigasi bisa dilakukan dengan substitusi energi heating yang menggunakan fosil dialihkan ke penggunaan listrik. Kedua, solusinya adalah dengan PLTS atap justru paling efektif. Data resmi pemerintah pada 2019, dari PLTS ada 186 MW, tapi data di Asosiasi Energi Surya jauh lebih besar, pada 2020-2021 baik yang pipeline dan lengkap itu sampai Juli lalu totalnya ada 480 MW,” kata Fabby.
Fabby mengatakan, pemerintah perlu membuka kesempatan investasi untuk proyek energi terbarukan. Kajian IESR menunjukkan bahwa untuk memenuhi target 23 persen bauran energi terbarukan hingga 2025, investasi yang diperlukan sekitar US$14 miliar hingga US$15 miliar, atau setara dengan Rp 210 triliun.
Sementara itu, untuk mencapai net zero emission, IESR memperkirakan nilai investasi yang diperlukan hingga 2030 menyentuh US$25 miliar sampai US$30 miliar per tahun, atau sekitar Rp 420 triliun per tahun. Angka tersebut akan lebih tinggi pada 2030–2050, yakni mencapai US$50 miliar hingga US$60 miliar per tahun. Nilai investasi itu termasuk untuk pengembangan teknologi rendah karbon di sektor kelistrikan, transportasi, dan industri. Fabby menyebut, investasi itu juga mencakup pengembangan green hidrogen, serta bahan bakar sintetik untuk sektor transportasi yang tidak dapat dielektrifikasi, seperti pesawat dan kapal.
Dari sisi industri batubara, anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Widhyawan Prawiraatmadja mengatakan industri batubara membutuhkan sinyal yang lebih kuat melalui pajak karbon agar dapat ikut bertransformasi dan mendukung dekarbonisasi sistem energi
“Konteksnya begini, kita menerapkan pajak karbon USD 5 per ton. Aktornya akan berpikir kalau gitu dipajakin saja tidak apa-apa (pajak rendah-red). Jika demikian adanya maka peraturan tersebut sama saja tidak berfungsi. Kecuali kalau seperti di luar (negeri), pajaknya USD 50 pasti sudah mikir banget mau pake fossil,” kata Wawan.
Baca Juga: Luhut Batasi Wisatawan Asing di Bali, Turis Backpacker Tak Terima