Suara.com - Makin banyak bukti yang menunjukan bahwa Masyarakat Adat adalah pelindung yang paling efektif untuk hutan tropis dan keanekaragaman hayatinya. Disebutkan bahwa Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal mengelola setengah dari lahan yang ada di dunia serta merawat 80% dari keanekaragaman hayati dunia.
Sebuah studi yang dipublikasikan bulan Oktober memperkuat argumen bahwa ada urgensi yang dibutuhkan untuk meningkatkan solusi melawan kerusakan hutan tropis. Dalam sebuah analisa komprehensif mengenai komitmen global untuk melindungi hutan, para penulis mendorong agar hak dari Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal diakui dan dijamin, dan meletakkan komunitas-komunitas sebagai prioritas.
Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa mereka menerima kurang dari 1% dana perubahan iklim yang diperuntukkan mencegah deforestasi.
KTT COP26 tahun ini berlangsung di Glasglow pada 2 November lalu, dan telah dihadiri oleh para pemimpin dunia, termasuk Presiden Jokowi yang mewakili Indonesia, sebagai salah satu negara yang akan turut berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim secara global.
Inggris, Jerman, AS dan beberapa negara lain mengumumkan kerjasama dengan 17 kontributor yang berkomitmen menginvestasikan sejumlah USD 1.7 Miliar untuk membantu Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dalam melindungi hutan tropis yang penting untuk melindungi bumi dari perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati, dan risiko pandemi.
Dalam KTT COP26, Presiden Jokowi juga turut menyampaikan komitmen Indonesia dalam penanganan perubahan iklim yang sekaligus menjadi ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global.
Dengan potensi alam yang begitu besar, Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim melalui rehabilitasi hutan mangrove dan lahan kritis yang ditargetkan pada 2030 untuk menyerap karbon bersih.
Menteri lingkungan hidup Inggris, Zac Goldsmith mengatakan, bukti yang ada menunjukkan bahwa Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal adalah pelindung hutan yang paling efektif.
“Oleh karena itu mereka seharusnya menjadi jantung dari solusi darurat iklim yang berdasar pada alam. Dengan berinvestasi pada komunitas di hutan tropis dan mengembangkan hak-hak komunitas kita sekaligus melakukan penanganan kemiskinan, polusi, dan pandemi,” katanya dalam KTT COP26, mengutip siaran pers yang diterima Suara.com.
Baca Juga: Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati Jadi Kunci Temukan Obat Baru Buatan Indonesia
Selama bertahun-tahun, hanya sekitar USD 270 juta dari pembiayaan perubahan iklim ditujukan untuk perlindungan hutan. Bahkan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal yang secara langsung melindungi hutan hanya menerima USD 46 juta.
Tak hanya pemerintah, para kontributor di KTT COP26 juga menyatakan bahwa mereka menunjukkan komitmen dengan mengumumkan pembiayaan awal bersama sebesar USD 1.7 miliar untuk tahun 2021-2025. Pembiayaan ini diperuntukkan dalam membantu memantapkan posisi Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal sebagai pelindung hutan dan alam.
Para kontributor dan negara yang berpartisipasi berharap langkah ini merupakan awal dari proses mendorong pengikutsertaan komunitas lokal dan masyarakat adat yang memiliki pengetahuan dan kapasitas untuk mengelola hutan.
Ford Foundation Indonesia menambahkan bahwa seiring dengan perubahan iklim yang terjadi, terdapat peran penting Masyarakat Adat Indonesia sebagai pelindung salah satu hutan tropis terbesar yang tersisa di dunia.
“Kita perlu mendorong agar masyarakat adat dan komunitas lokal bisa berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan membangun kemitraan dengan pemerintah untuk melindungi hutan tropis Indonesia, “ kata Alexander Irwan, Direktur Regional Ford Foundation Jakarta.
“Ford Foundation siap bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan pemanfaatan sumber daya alam dilakukan secara partisipatif bagi kelompok masyarakat rentan dan komunitas lokal demi terwujudnya keadilan sosial dan mengurangi ketimpangan di Indonesia. Dukungan akan diberikan oleh Ford Foundation sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku,” katanya lagi.