Suara.com - Menikah adalah fase penting dalam kehidupan seseorang yang sering dikaitkan dengan berbagai konsekuensi, baik dalam aspek sosial, psikologis, maupun ekonomi. Namun alasan buru-buru menikah yang tidak tepat terkadang akan memperburuk keadaan.
Salah satu keyakinan yang berkembang di masyarakat adalah bahwa menikah dapat membuka pintu rezeki.Kepercayaan ini tidak hanya berakar dalam budaya dan tradisi, tetapi juga didukung oleh berbagai perspektif, mulai dari agama, psikologi, hingga ekonomi.
Dalam ajaran Islam, menikah dianggap sebagai sunnah yang membawa banyak keberkahan. Beberapa ayat dalam Al-Qur'an menegaskan bahwa Allah akan memberikan kecukupan rezeki bagi pasangan yang menikah.
Salah satunya terdapat dalam Surah An-Nur ayat 32, yang menyebutkan bahwa orang yang menikah akan diberikan kecukupan oleh Allah dari karunia-Nya.
Dalam Surat An-Nur ayat 32, dikutip dari NU Onliie Allah berfirman:
وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ٣٢
Artinya:"Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui."
Sekilas, ayat ini tampak seperti janji bahwa menikah pasti membawa rezeki dan akan kaya. Tapi mari kita lihat penjelasan ulama Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Tafsir Mafatihul Ghaib, menjelaskan bahwa ayat ini bukan janji Allah bahwa setiap orang yang menikah akan menjadi kaya.
Makna yang lebih tepat adalah: janganlah kalian melihat kemiskinan orang yang melamar kepada kalian atau kemiskinan orang yang ingin kalian nikahkan, karena dalam karunia Allah terdapat kecukupan bagi mereka. Harta itu datang dan pergi, dan kemiskinan bukanlah penghalang untuk memiliki keinginan menikah.
الْأَصَحُّ أَنَّ هَذَا لَيْسَ وَعْدًا مِنَ اللَّه تَعَالَى بِإِغْنَاءِ مَنْ يَتَزَوَّجُ. بَلِ الْمَعْنَى لَا تَنْظُرُوا إِلَى فَقْرِ مَنْ يَخْطُبُ إِلَيْكُمْ أَوْ فَقَرِ مَنْ تُرِيدُونَ تَزْوِيجَهَا فَفِي فَضْلِ اللَّه مَا يُغْنِيهِمْ، وَالْمَالُ غَادٍ وَرَائِحٌ، وَلَيْسَ فِي الْفَقْرِ مَا يَمْنَعُ مِنَ الرَّغْبَةِ فِي النِّكَاحِ، فَهَذَا مَعْنًى صَحِيحٌ وَلَيْسَ فِيهِ أَنَّ الْكَلَامَ قُصِدَ بِهِ وَعْدُ الْغِنَى حَتَّى لَا يَجُوزَ أَنْ يَقَعَ فِيهِ خُلْفٌ
Artinya: "Pendapat yang lebih benar adalah bahwa ayat ini bukanlah janji dari Allah Ta’ala untuk menjadikan orang yang menikah menjadi kaya. Namun, maknanya adalah: Janganlah kalian melihat kemiskinan seseorang yang melamar kepada kalian atau kemiskinan seseorang yang ingin kalian nikahkan. Sebab, dalam karunia Allah terdapat kecukupan bagi mereka. Harta itu datang dan pergi, dan kemiskinan bukanlah hal yang menghalangi seseorang untuk berkeinginan menikah. Ini adalah makna yang benar, dan tidak berarti bahwa ayat ini mengandung janji pasti tentang kekayaan sehingga mustahil terjadi sebaliknya." (Imam Fakhruddin Ar Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1420 H] Jilid XXIII, hlm. 371).
Kemudian, jika ada yang bertanya, kata Imam Fakhruddin Ar-Razi, “Mengapa kita melihat ada orang yang kaya lalu menikah, tetapi kemudian menjadi miskin?”
Jawabannya adalah sebagai berikut, sejatinya janji ini bergantung pada kehendak Allah, sebagaimana firman-Nya:
وَاِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيْكُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖٓ اِنْ شَاۤءَۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ٢
Artinya, "Jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang), Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana." (QS At-Taubah: 28)