Ada bukti kuat bahwa teknologi gelombang kedua memiliki efek pada otak kita yang secara kualitatif berbeda dari yang sebelumnya.
Profesor MIT Sherry Turkle dan yang lain telah meneliti tentang intensitas dari hubungan yang cenderung terbentuk dari apa yang disebutnya “relasi dengan objek (artefak)” seperti robot. Turkle mendefinisikan relasi ini sebagai hubungan dengan “objek tidak hidup, setidaknya tampak tidak hidup, yang cukup responsif sehingga orang-orang secara alami menganggap diri mereka berada dalam hubungan yang nyata dengan objek tersebut.” Pengalaman VR yang mendalam juga menawarkan tingkat intensitas yang berbeda secara kualitatif dari berbagai bentuk media.
Pengalaman yang mendalam
Dalam kuliah di Virtual Futures Forum pada 2016, peneliti VR Sylvia Xueni Pan menjelaskan pengalaman mendalam yang didapat dari teknologi VR. Ini menciptakan apa yang dia jelaskan sebagai menempatkan ilusi yang nyata di dalam otak manusia.
Sebagai hasil dari teknologi yang bersifat real-time, dengan tampilan 3D, otak para pengguna menjadi yakin bahwa mereka benar-benar berada di sana. Seperti yang dia katakan: “Jika situasi dan peristiwa yang terjadi di VR benar-benar berkorelasi dengan tindakan Anda dan berhubungan secara pribadi dengan Anda, maka Anda akan bereaksi seolah-olah itu nyata. ”
Dengan berkembangnya teknologi ini, maka pengalaman seksual yang banyak orang akan rasakan mungkin sama memuaskannya dengan pasangan manusia, atau dalam beberapa kasus bisa melebihinya.
Kami percaya bahwa dalam beberapa dekade mendatang, ketika teknologi ini menjadi lebih canggih dan lebih luas, akan ada semakin banyak orang yang akan memilih untuk berhubungan seks dengan pasangan yang sepenuhnya buatan dan berada lingkungan virtual.
Dan saat itu terjadi, kita juga akan melihat munculnya identitas seksual baru ini yang kita sebut sebagai digiseksualitas.
Seksualitas dan stigma
Seorang digiseksual adalah seseorang yang melihat teknologi menyeluruh seperti robot seks dan pornografi VR sebagai bagian dari pengalaman seksual mereka, dan yang merasa tidak perlu mencari hubungan fisik dengan pasangan manusia.
Identitas seksual marginal hampir selalu menghadapi stigma, dan sudah jelas bahwa digiseksual juga termasuk di dalamnya. Gagasan digiseksualitas sebagai identitas telah mendapatkan reaksi negatif yang kuat dari banyak komentator di media dan di internet.
Kita harus belajar dari kesalahan masa lalu. Masyarakat telah menempelkan stigma terhadap kaum gay dan lesbian, biseksual, panseksual, aseksual, mereka yang non-monogami dan yang mempraktikkan seksual sadisme.
Kemudian, seiring berjalannya waktu, kita secara bertahap belajar untuk lebih menerima semua identitas seksual yang beragam ini. Kita harus membawa keterbukaan yang sama kepada kaum digiseksual. Ketika teknologi seksual semakin meluas, kita harus mendekati mereka, dan penggunanya, dengan pikiran terbuka.
Kita tidak tahu ke mana arah teknologi, dan pasti ada kekhawatiran yang harus didiskusikan–seperti halnya bagaimana kita berinteraksi dengan teknologi yang dapat membentuk perilaku kita terhadap pasangan kita sendiri.
Penelitian kami membahas satu bagian khusus dari teka-teki yang ada: pertanyaan tentang bagaimana teknologi mempengaruhi pembentukan identitas seksual, dan bagaimana orang dengan identitas seksual berbasis teknologi dapat menghadapi stigma dan prasangka. Ya, ada bahaya. Tapi cambuk dan alat pemukul pantat juga bisa menyakitkan.