Menurut Profesor Delia Randolph, ahli epidemiologi hewan dan penulis utama laporan PBB, menggambarkan 'tren yang sangat jelas' sejak tahun 1930-an yang menunjukkan bahwa 75 persen penyakit manusia yang muncul berasal dari satwa liar.
Perusakan habitat hewan memaksa para hewan melakukan kontak lebih dekat dengan manusia, sehingga meningkatkan risiko penularan penyakit.
Perubahan iklim juga dapat berkontribusi pada hal ini dengan membuat peristiwa cuaca ekstrem, seperti banjir lebih sering terjadi dan mengusir hewan dari habitatnya. Sebagai contoh di Madagaskar, wabah pes disebarkan oleh hewan pengerat yang melarikan diri dari kebakaran hutan dan kebakaran menjadi lebih sering terjadi saat Bumi memanas.
![Pasar Wuhan, China. [Hector Retamal/AFP]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/06/01/83625-pasar-wuhan-china.jpg)
Aktivitas manusia juga sering meruntuhkan penghalang alami yang melindungi manusia dari patogen penyakit. Rute transmisi utama antara lingkungan dan manusia adalah melalui perburuan dan memakan hewan liar dan eksotis. Perdagangan satwa liar ilegal membuat berbagai hewan hidup, termasuk kelelawar, menjadi lebih dekat dengan orang-orang di pasar.
Hewan-hewan liar seperti ular, berang-berang, landak, dan bayi buaya termasuk di antara spesies yang dijual di Pasar Grosir Makanan Laut Huanan di Wuhan, yang awalnya diyakini sebagai pusat munculnya pandemi.
Namun, para ilmuwan masih belum mengetahui apakah penyakit ini benar-benar berasal dari sana, setelah para ahli internasional yang menyelidiki penyebab pandemi tidak menemukan bukti penyakit ganas di pasar.
Bahkan, sekarang ada spekulasi berkembang bahwa virus itu mungkin secara tidak sengaja tumpah dari laboratorium biokimia di Wuhan. Teori tersebut sebagian didorong oleh Presiden Donald Trump yang mengatakan bahwa ia telah diberikan bukti oleh komunitas intelijen Amerika Serikat.