Salah satu elemen penting dalam pembuatan vaksin adalah seberapa aman sebuah vaksin dalam meningkatkan kekebalan tubuh. Selain itu seberapa lama dampak imunitas dari vaksin bisa bertahan.
Kalau, misalnya, vaksin itu sudah siap tapi tingkat daya lindungnya rendah akan membutuhkan lebih banyak dosis vaksin dan tentu saja banyak biaya. Itu artinya para pengguna vaksin bisa terjebak dalam rasa aman palsu dan ini justru berbahaya karena berpotensi menyebarkan virus corona lebih luas.
Dengan kasus COVID-19 yang kini mencapai hampir 350 ribu kasus, kematian lebih dari 12.000, adanya vaksin memang salah satu harapan untuk mengakhiri wabah dahsyat ini. Tapi menggunakan vaksin yang belum lolos uji tahap akhir sama saja sedang menyiapkan masalah baru di masyarakat.
Kita telah melihat dampak pengabaian sains oleh pemerintah dalam penanganan pandemi. Misalnya, sekitar sebulan belum dinyatakan wabah COVID, pemerintah tidak mendengar hasil riset dari guru besar Universitas Harvard yang menyatakan besar kemungkinan di Indonesia telah ada virus corona saat itu. Bukannya merespons dengan kebijakan antisipastif, Menteri Kesehatan malah menantang balik.
Selain itu, pemerintah tetap menggunakan rapid test antibodi walau ada kritik keras dari dalam dan luar negeri termasuk WHO.
Sikap pemerintah tidak mau mendengarkan ahli tidak boleh dipertahankan jika ingin situasi Indonesia membaik.
Sambil menunggu vaksin yang aman dan ampuh yang mungkin tersedia pertengahan tahun depan, pemerintah Indonesia lebih baik memperkuat kebijakan dan implementasinya untuk mencegah penyebaran COVID dengan meningkatkan level pengetesan, pelacakan, pengisolasian, dan pengobatan pasien COVID.
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.
Baca Juga: Tetap Terapkan Protokol Kesehatan, Dokter: Belum Ada Vaksin yang Efektif