Sementara itu, pemerintah yang seharusnya melindungi pihak yang lemah dan menegakkan hubungan kemitraan yang sejati, pada kenyataannya justru membanggakan model ekonomi gig ini sebagai industri masa depan.
Menyerahkannya melalui perjuangan di pengadilan seperti di Inggris yang berhasil mengubah mitra perusahaan platform menjadi karyawan perusahaan juga sulit. Sebab Inggris menerapkan sistem hukum Anglo Saxon (common law system) yang menetapkan keputusan pengadilan adalah hukum dan hakim adalah pencipta hukum.
Di Indonesia, yang menerapkan civil law system, keputusan hakim tidak mengikat hakim yang lain. Sehingga jika ada konflik antara UU dan putusan hakim, yang dimenangkan adalah UU.
Dengan demikian, untuk memperbaiki kesejahteraan bagi pekerja gig seperti tukang ojek online dapat dilakukan pemerintah dengan mengaturnya dalam undang-undang yang spesifik.
UU No. 20 Tahun 2008 tidak secara spesifik mengatur hubungan kemitraan dalam ekonomi gig, sementara Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 12 Tahun 2019 terbatas pada ojol roda 2. Peraturan ini tidak memasukkan permasalahan penting terkait kesalahan-pengklasifikasian atau penghindaran penerapan kemitraan sejati yang dilakukan oleh perusahaan platform.
Karena undang-undang merupakan produk politik, maka seluruh pemangku kepentingan perlu memperkuat kemauan, komitmen, dan perjuangan politiknya. Sehingga sudah saatnya publik secara bersama mendorong terciptanya aturan hukum untuk memberi perlindungan berupa kerja layak dan adil bagi pekerja gig.
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.
Baca Juga: Pemprov DKI Targetkan 256 Ribu Pekerja Transportasi Divaksin Covid-19