Pada akhirnya, akan lebih banyak kampus yang mampu meraih status PTBH atau PTBLU dengan otonomi yang besar.
Manfaat lain dari perampingan kampus: berkaca dari Prancis
Saat ini, saya juga sedang menempuh studi doktoral di Prancis. Ada berbagai hal menarik terkait pengelolaan kampus di negara ini, yang menurut saya bisa menjadi pelajaran untuk Indonesia – terutama terkait perampingan kampus.
Sekitar 40 tahun lalu, terjadi reformasi pendidikan tinggi di Prancis yang memisahkan lembaga kampus berdasarkan disiplin ilmunya. Ini searah dengan tren pendidikan tinggi dunia barat waktu itu yang berpusat pada kebutuhan industri yang sangat spesifik.
Ini mengakibatkan perpecahan Universitas Paris, misalnya, menjadi 13 universitas yang berbeda. Di antaranya menjadi Universitas Pierre and Marie Curie (UPMC) yang fokus pada ilmu sains dan kasehatan, dan Paris-Sorbonne yang fokus pada seni dan humaniora.
Namun, Pemerintah Prancis kini justru melakukan merger beberapa kampus ternama di Prancis untuk menjawab tantangan global.
Universitas Paris-Sorbonne dan UPMC pun kembali dilebur menjadi satu. Yang lebih fenomenal lagi adalah berdirinya Universitas Paris-Sacley yang merupakan penggabungan dari 19 institusi pendidikan tinggi.
Beberapa pimpinan kampus tersebut mengatakan tantangan global seperti krisis iklim memerlukan universitas yang memiliki disiplin ilmu yang komprehensif dan lintas bidang.
Pada 2015, peneliti Jean-Claude Theonig menjelaskan bagaimana pembentukan Universitas Paris-Sacley adalah upaya Prancis untuk berkompetisi dengan kampus ternama dunia seperti Harvard, MIT, dan Oxford.
Baca Juga: Robot Karya Mahasiswa UNP Raih Prestasi di Kontes Robot Indonesia
Dalam hal ini, Paris-Sacley dirancang sebagai kampus raksasa yang multidisipliner, sekaligus klaster teknologi besar layaknya Silicon Valley.
Perlu advokasi dan perubahan pola pikir
Jika kita ingin mencoba mengambil langkah perampingan dan merger seperti di Prancis, sebaiknya upaya tersebut tidak diserahkan pada kesukarelaan tiap kampus, mengingat Indonesia memiliki sejarah panjang terkait ego-sektoral antar lembaga maupun kementerian.
Misalnya, pemerintah bisa menyediakan tim khusus untuk menjembatani advokasi kebijakan ini.
Yang jelas, ada masalah besar dalam pengelolaan yang timbul dari adanya ribuan politeknik, institut, dan sekolah tinggi berkualitas buruk yang berdiri secara terpisah.
Mungkin perpecahan ini sempat menjadi pilihan terbaik bagi pemerintah Indonesia di masanya. Namun, sudah saatnya kita mengevaluasi apakah langkah tersebut sesuai dengan tuntutan global saat ini.