Peneliti UGM Ubah Limbah Peternakan Jadi 'Harta Karun' Hijau

Muhammad Yunus Suara.Com
Jum'at, 18 Juli 2025 | 14:21 WIB
Peneliti UGM Ubah Limbah Peternakan Jadi 'Harta Karun' Hijau
Tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) membuktikan hal itu dengan memanfaatkan bio-slurry—atau anaerobic digested manure wastewater—sebagai media kultivasi mikroalga Euglena sp. IDN 22 [Suara.com/UGM]

Suara.com - Siapa sangka, limbah cair dari produksi biogas di peternakan bisa berubah jadi sumber daya berharga?

Tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) membuktikan hal itu dengan memanfaatkan bio-slurry—atau anaerobic digested manure wastewater—sebagai media kultivasi mikroalga Euglena sp. IDN 22.

Temuan ini bukan hanya menawarkan peluang ekonomi baru, tapi juga solusi konkret bagi persoalan lingkungan.

Mengutip ugm.ac.id, penelitian ini dipimpin oleh Prof. Ambar Pertiwiningrum bersama tim: Prof. Nanung Agus Fitriyanto (Guru Besar Fakultas Peternakan UGM), Dhomas Indiwara Prana Jhouhanggir (mahasiswa Program Doktor Fakultas Peternakan), dan Dr. Eko Agus Suyono (Dosen dan Peneliti Fakultas Biologi UGM).

Hasilnya bahkan sudah dipublikasikan di Journal of Ecological Engineering tahun 2025.

“Integrasi pemanfaatan bio-slurry dengan kultivasi mikroalga membawa dua keuntungan besar: dari sisi ekonomi dan lingkungan,” ujar Ambar.

Ganti Pupuk Kimia, Turunkan Biaya Produksi

Bio-slurry ternyata kaya nutrisi penting seperti nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K).

Nutrisi ini dibutuhkan oleh mikroalga untuk tumbuh subur. Artinya, petani bisa mengurangi, atau bahkan tak perlu lagi menggunakan pupuk sintetis.

Baca Juga: Kisruh Ijazah Jokowi: Mantan Rektor Tarik Ucapan, Dokter Tifa Sebut 'Kebenaran Sudah Dikumandangkan'

Hasilnya, biaya operasional dalam budi daya mikroalga bisa ditekan secara signifikan.

Tak hanya untung secara ekonomi, pendekatan ini juga berdampak positif bagi lingkungan.

Limbah cair peternakan yang mengandung nitrogen dan fosfat biasanya bisa memicu eutrofikasi jika langsung dibuang ke perairan.

Namun, ketika dijadikan media tumbuh mikroalga, nutrien tersebut dimanfaatkan, sehingga volume limbah berkurang.

Selain itu, penggunaan mikroalga membantu menyerap karbon dioksida (CO) dan menekan emisi gas rumah kaca seperti metana (CH) dan nitrous oxide (NO).

Semua ini sejalan dengan konsep ekonomi sirkular dan pembangunan berkelanjutan.

“Menariknya, pendekatan ini tidak memerlukan tambahan bahan kimia sintetis. Bio-slurry dipakai dalam bentuk alaminya, sehingga tidak menimbulkan pencemaran sekunder,” jelas Ambar.

Tantangan dan Langkah Selanjutnya

Meski punya potensi besar, produksi biomassa mikroalga oleh petani di Indonesia masih belum umum.

Saat ini, baru sebatas inisiatif kecil oleh akademisi, startup bioteknologi, atau proyek pemberdayaan masyarakat.

Ambar menyebut, kendala utamanya adalah minimnya pengetahuan teknis di kalangan petani serta akses pasar yang masih terbatas.

Sebagai langkah lanjutan, tim peneliti kini tengah mendalami riset untuk menemukan komposisi bio-slurry paling optimal. Fokusnya ada pada rasio karbon dan nitrogen yang mempengaruhi pertumbuhan mikroalga.

Penelitian ini menjadi bukti, bahwa pengelolaan limbah bukan hanya soal mengurangi sampah, tapi juga membuka jalan menuju inovasi, nilai tambah ekonomi, dan lingkungan yang lebih lestari.

Dari yang tadinya hanya limbah, kini berubah menjadi “harta karun” hijau yang menjanjikan masa depan lebih baik.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI