Suara.com - Saat ini, Indonesia dalam posisi rentan atau rawan kekurangan pangan, bila ada gangguan pada produksi, baik yang disebabkan oleh iklim, gangguan hama, atau penyakit tanaman.
Dengan jumlah produksi beras 32,42 juta ton dari total luas panen 10,9 juta hektare sawah, dan konsumsi tahunan 29,78 juta ton, hanya ada tersisa 2,64 juta ton (3,08 persen) yang bisa menjadi cadangan (data perbaikan produksi beras tahun 2018 dari BPS).
Dengan luas lahan yang makin terbatas, pertambahan jumlah penduduk yang pesat, dan sumber daya manusia (SDM) pertanian yang makin menyusut, serta gangguan iklim, maka ancaman produksi meningkat. Perlu ada cara untuk mengatasinya dan pilihannya adalah penerapan teknologi tinggi pada proses produksi pangan.
Saat ini telah ada teknologi tinggi untuk menghasilkan pangan dan mampu secara efektif menjawab berbagai kendala peningkatan produksi, yaitu bioteknologi (produk rekayasa genetik) di bidang pangan.
Sayangnya, ini belum digunakan di Indonesia, meskipun sudah banyak dimanfaatkan banyak negara maju. Sebagai contoh, Amerika Serikat memiliki luas tanaman berbasis bioteknologi terbesar di dunia, yaitu 73,1 juta hektare untuk tanaman kapas, kedelai dan jagung.
Negara lain yang juga menerapkan bioteknologi adalah Brazil dalam pertanaman kedelai. Saat ini, mereka mampu swasembada BBM dari bahan minyak kedelai.
Fakta lain, banyak komoditas pangan impor seperti kedelai dan jagung yang kita konsumsi sehari-hari, justru berasal dari produksi bioteknologi, sementara kita sendiri belum berani mengadopsi teknologi tersebut, karena penolakan sebagian masyarakat terkait keamanan pangan hayati dan dampak pemahaman yang tidak tepat.
Pada 1 Oktober 2019 di Jakarta, diselenggarakan diskusi terbatas (focus group discussion) para pemangku kepentingan bidang bioteknologi pangan. Dalam forum telah dibahas potensi dan peluang penerapan bioteknologi di Indonesia untuk menghadapi berbagai keterbatasan dan potensi ancaman produksi pangan.
Dari sisi teknis tampil sebagai narasumbernya, Prof. Dr. Bambang Sugiharto, penemu tebu transgenik 'tahan kekeringan' dari Center for Development of Advanced Science and Technology (CDAST) Universitas Jember, dan dari aspek regulasi dibawakan oleh Prof. Dr. Bambang Prasetya, Ketua Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (KKH PRG).
Baca Juga: Kementan Minta Petani Gunakan Pestisida Sesuai Anjuran
Dalam FGD ini, semua pejabat eselon 1 atau yang mewakili hadir memberikan tanggapan dan masukan terhadap pemanfaatan bioteknologi.
Dirjen Tanaman Pangan yang diwakili oleh Direktur Serealia, Ir.Bambang Sugiharto, M.Eng.Sc, menerima bioteknologi (PRG) untuk meningkatkan produksi pangan, sementara Dirjen Hortikultura, Dr.Ir.Prihasto Setyanto memerlukan teknologi unggul, termasuk biotek untuk mengembangkan kawasan produk hortikultura lima tahun ke depan.
Bahkan, Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan, Pending Dadih Permana dengan tegas mengatakan, penerapan biotek di bidang pertanian tidak ada masalah karena kita sudah mempunyai aturan tentang keamanan lingkungan, keamanan kesehatan dan keamanan pakan terhadap penggunaan Produk Rekayasa Genetik (PRG).
Menurut Bambang, saat ini masih ada kekhawatiran di kalangan masyarakat akan bahaya yang mungkin timbul bagi kesehatan manusia, maupun keamanan lingkungan dari PRG untuk tujuan pemenuhan pangan.
Ia mengakui, keraguan akan keamanan tanaman PRG akan tetap ada selama jaminan keamanan masih belum bisa diberikan.
Untuk jaminan keamanan PRG, Ketua KKH PRG Bambang Prasetya mengatakan, untuk jaminan keamanan bisa diawali dengan analisis dan kajian "Risk based Assesment", dengan pendekatan ke hati- hatian (precautionary approach).