Suara.com - Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof Dr Sudarsono Soedomo menilai, klaim kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berpotensi menggerus kepemilikan lahan masyarakat dan pelaku usaha.
Salah satu regulasi yang membuat kegaduhan adalah SK.579/Menhut-II/2014 tanggal 24 Juni 2014 tentang Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara.
Lewat SK ini, sekitar 92 ribu hektar lahan yang telah punya izin seperti HGU serta izin lain yang diterbitkan Kementerian ATR/BPN dianggap illegal karena dianggap berada di kawasan hutan.
Disisi lain, masih banyak pihak belum memahami bahwa penetapan kawasan hutan bukan merupakan kewenangan KLHK .
“Mengacu kepada UU,penetapan kawasan hutan merupakan domain pemerintah dalam hal ini Presiden dam bukan KLHK,” Sudarsono dalam keterangan persnya, Selasa (31/8/2021).
Sudarsono berpendapat, kalaupun KLHK menganggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi terkait kebijakan kehutanan, seharusnya hak-hak masyarakat yang telah punya legalitas yang diakui Negara seperti HGU, dikeluarkan terlebih dulu. Baru setelahnya dilakukan penetapan kawasan hutan.
Tapi yang terjadi sebaliknya. Satu desa yang telah ada sejak zaman belanda, bisa dianggap illegal dan masuk dalam kawasan hutan.
Begitu juga kebun masyarakat yang telah diusahakan turun temurun dan punya HGU, langsung dicap illegal dengan alasan ada di kawasan hutan hanya dengan bermodalkan SK yang baru ditetapkan tujuh tahun lalu.
“Hal ini mengakibatkan energi dan uang masyarakat habis untuk berperkara untuk mempertahankan lahannya,” kata Sudarsono.
Baca Juga: Terungkap, Peningkatan Limbah Medis Indonesia Saat Pandemi Mencapai 520 Ton Per Hari
Disisi lain, Sudarsono juga mengingatkan, Kementerian ATR/BPN untuk punya nyali mempertahankan produknya seperti sertifikat kepemilikan, HGU dan sebagainya legalitas kepemilikan sah dan diakui negara.
“Keragu-raguan Kementerian ATR/BPN dalam mempertahankan produknya kerap membuat masyarakat gamang sehingga selalu diperhadapkan pada persoalan legalitas kepemilikan,” kata Sudarsono.
Sudarsono Soedomo mengingatkan,salah satu aturan yang perlu dikritisi yakni UU NO 11 tahun 2020 terkait pengukuhan kawasan hutan.
Dalam pasal 15 ini ayat 3 ada penambahan aturan baru menyangkut pengukuhan kawasan hutan. Di ayat ini disebutkan bahwa pengukuhan kawasan hutan bisa dilakukan manfaatkan teknologi informasi dan koordinat geografis atau satelit.
“Sebetulnya tidak ada yang salah dengan memanfaatkan teknologi canggih. Hanya saja, untuk menyelesaikan tata batas tidak hanya sekedar di atas kertas,” jelas Sudarsono.
Menurut Sudarsono, secanggih apapun teknologi, peninjauan ke lapangan merupakan hal penting karena menyangkut hak-hak pihak ketiga di dalam. Sudarsono juga mengingatkan, jika aturan ini dibiarkan, punya potensi penyalahgunaan.