Suara.com - Isu keberlanjutan menjadi isu yang krusial dan teramat penting dewasa ini. Bagi sebagian kalangan, keberlanjutan bahkan menjadi an endless issue yang terus mendapat perhatian dan pengelolaan dari waktu ke waktu.
Bagi dunia usaha, isu mengenai keberlanjutan menjadi bukan hanya menciptakan proses bisnis yang memastikan keberlanjutan lingkungan, baik lingkungan alam maupun sosial, tetapi juga sekaligus merupakan bagian dari memastikan keberlanjutan bisnis perusahaan itu sendiri.
Demikian yang disampaikan oleh Arif Mujahidin, Communication Director Danone Indonesia, dalam CEO Live Series #3 yang diselenggarakan dalam rangkaian 12th Kompas100 CEO Forum: Ekonomi Sehat 2022 Powered by East Ventures.
Selain Arif, hadir sebagai pembicara dalam perhelatan tersebut Ketua Tim Ahli Kementerian Perdagangan RI Bayu Krisnamurthi, SVP Strategy & Investment PT Pertamina (Persero) Daniel S. Purba, EVP Electricity System Planning PT PLN (Persero) Edwin Nugraha Putra, dan Director Sustainability and Stakeholder Relations Asian Agri Bernard A. Riedo.
Arif mengatakan, Danone Indonesia memiliki satu slogan unik yang menggambarkan betapa pentingnya keberlanjutan bagi Danone Indonesia, yakni One Planet, One Health.
“Kita hanya punya satu planet, dan kita hanya hidup di bumi ini satu kali. Sehingga apa pun yang dilakukan, kita tidak boleh melakukan sesuatu yang merusak planet dan merusak kesehatan. Jadi antara human health dan planet health itu sangat interconnected,” ucap Arif ditulis Selasa (16/11/2021).
Arif melanjutkan, inisiatif-insiatif yang dilakukan Danone Indonesia, selain juga menempatkan lingkungan alam sebagai bagian yang penting, juga menempatkan manusia sebagai sesuatu yang tak kalah penting.
“Prinsip sustainability ini diimplementasikan di semua tempat. Di market place, di work place, hingga di environment. Danone Indonesia memastikan bahwa walaupun tujuan utama Danone Indonesia memproduksi produk kesehatan manusia, namun dalam proses produksinya tidak boleh merusak planet. Demikian juga ke masyarakat. Kita tidak akan bisa menjual produk bila daya beli masyarakat kita rendah. Atau kita juga tidak bisa mengantarkan produk bila lingkungan tidak baik. Semua saling terkait. Oleh karena itu apa pun yang dilakukan Danone Indonesia adalah memastikan operasi kita dari hulu ke hilir tidak merusak planet,” papar Arif.
Berangkat dari pemahaman tersebut, Arif menilai pada hakikatnya sustainbility bagi dunia usaha bukan hanya berarti menjaga keberlangsungan lingkungan dan masyarakat sekitar. Tapi yang juga tak kalah penting ialah sebenarnya bertujuan untuk menjaga perusahaan tersebut tetap dapat beroperasi dan sustain.
Baca Juga: Akomodir Keresahan Orang Tua, LDII Tangsel Mulai Pembangunan SMA CIM Boarding School
Terkait kesehatan manusia yang juga menjadi perhatian Danone Indonesia, Arif mengatakan itu tak lain karena kesehatan manusia sangat penting dan terkait dengan banyak hal.
“Kita lihat pada pandemi ini, misalnya. Dimulai dari krisis kesehatan, akhirnya bisa menjalar menjadi krisis di mana-mana. Selama pandemi Danone Indonesia tetap berproduksi karena termasuk dalam produk esensial. Namun ini bukan sesuatu yang mudah. Dua tahun terakhir situasi juga sangat penuh ketidakpastian. Tapi kami percaya, jika diselesaikan bersama-sama, kita akan melewati ini semua. Kami ikut membantu dengan apa yang bisa kami lakukan, mendukung prasarana kesehatan, vaksinasi. Saat kini Indonesia mulai pulih, sangat terasa sekali di perusahaan. Produktivitas meningkat, kegiatan bisnis mulai terasa. Itu indikator yang sangat jelas bahwa kita tidak bisa berdiri sendiri. Sustainability sangat interconnected dan membutuhkan kolaborasi. Perusahaan yang baik kalau dulu hanya memikirkan shareholder, kini yang dipikirkan ialah stakeholders, pemangku kepentingan yang lebih luas, termasuk konsumen, masyarakat, regulator, dan lain-lain,” ujar Arif.
Apa yang disampaikan Arif sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Daniel S. Purba, SVP Strategy & Investment PT Pertamina (Persero). Menurut Daniel, bagi institusi usaha migas seperti Pertamina, yang memang padat modal dan mengandung risiko tinggi, menjalankan prinsip-prinsip sustainability dengan sendirinya berarti memberikan kepastian usaha bagi perusahaan itu sendiri.
“Untuk upstream seperti produksi minyak, misalnya. Bisa jadi kita melakukan pengeboran hari ini, tetapi produksinya baru bisa kita lakukan dalam lima tahun ke depan. Atau untuk gas, kita eksplorasi, bersyukur bila mendapat gas hari ini, baru 10 tahun lagi baru bisa kita jual. Jadi spektrumnya bisa sangat panjang sifatnya. Itu sebabnya isu-isu sustainbility bagi perusahaan seperti Pertamina ini menjadi isu yang superkritikal bagi perusahaan, apalagi di mata investor,” papar Daniel.
Di Pertamina, sambung Daniel, concern terhadap keberlanjutan ini tertuang dalam perilaku dan keputusan bisnis sehari-hari. Pertamina bahkan mengundang lembaga luar dengan reputasi internasional dalam mengevaluasi dan mengukur pelaksanaan prinsip-prinsip keberlanjutan di lingkungan Pertamina. Dalam hal transisi energi dari energi yang bersumber dari fosil menjadi sumber energi baru dan terbarukan, Pertamina juga telah menyusun rencana yang cukup panjang.
“Kita menyusun RJPP kita setiap lima tahun. Meskipun kita menyusun RJPP dalam lima tahun, tetapi proyeknya bisa sampai 10-20 tahun. Contohnya untuk renewable energy yang hari ini secara portofolio bisnis (Pertamina) masih sekitar 1%, masih sangat kecil sekali. Tapi kita sudah rencanakan dalam 10 tahun ke depan, atau tahun 2030, kita sudah proyeksikan sampai ke 17%. Jadi 17 kali lipat lebih besar dari yang sekarang dalam tempo 10 tahun ke depan. Ini adalah bagaimana kita merespons energi transisi. Mengapa, karena ini bagian dari kita memastikan sustainability perusahaan ini,” tutur Daniel yang juga mengatakan bahwa adalah suatu keniscayaan semua pihak nantinya akan bergerak menuju energi baru dan terbarukan.