Pentingnya Mendorong Kebijakan Setara-Inklusif yang Transformatif dan Partisipatif

Iwan Supriyatna Suara.Com
Rabu, 23 Maret 2022 | 16:14 WIB
Pentingnya Mendorong Kebijakan Setara-Inklusif yang Transformatif dan Partisipatif
Webinar berkonsep Ruang Bincang dengan tema “Mendorong Kebijakan Setara-Inklusif yang Transformatif dan Partisipatif”.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Sementara itu, akademisi dan peneliti University of Melbourne, Rachael Diprose, menyoroti tentang temuan dalam riset mengenai Aksi Kolektif Perempuan dan Undang-Undang (UU) Desa, terutama tentang bagaimana pengaruh aksi kolektif perempuan memengaruhi implementasi UU Desa serta peran OMS dalam menjalankan proses tersebut.

“Temuan riset kami mengidentifikasi berbagai cara OMS memastikan inklusi dan pemberdayaan gender. Melalui peningkatan keterampilan, pengorganisasian dan berjejaring, perempuan saling memberikan dukungan dalam mengatasi hambatan inklusi gender di wilayahnya, serta menjadi ‘perantara pemberdayaan’ dalam menghubungkan kelompok perempuan dengan ruang pengambilan kebijakan maupun aktor berpengaruh”. kata Rachael.

Sebelumnya, peneliti Cakra Wikara Indonesia (CWI), Mia Novitasari, memaparkan penerapan meritokrasi dalam UU Aparatur Sipil Negara (ASN) menyisakan ketimpangan pada Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Kementerian.

“Kementerian perlu melakukan Inovasi kebijakan atau program yang mengakomodasi pemenuhan tanggung jawab domestik di lingkungan kerja, termasuk mendorong penerapan flexible working arrangement (FWA), mendorong pemimpin pada jabatan tinggi untuk memiliki perspektif kesetaraan, serta adanya data terpilah gender untuk mendorong anggaran dan agenda kebijakan responsif gender”. Katanya.

Sementara itu, Koordinator Penelitian, PUI-PT Pusat Penelitian HIV AIDS PUK2IS UAJ, Theresia Arum, menjelaskan kondisi terkini dari pelibatan kelompok terdampak HIV dalam konteks implementasi kebijakan mengenai program penanggulangan HIV.

Pemberdayaan kelompok marginal membutuhkan proses yang panjang dan pelibatan serta advokasi kepada pemangku kepentingan terkait secara terus menerus.

Dari sisi proses pembentukan UU, Direktur Advokasi dan Jaringan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Fajri Nursyamsi, menjelaskan peran kelompok disabilitas dalam memberi masukan, baik terlibat secara langsung atau melalui media yang aksesibel pada proses pembentukan undang-undang.

Perspektif pembentuk kebijakan masih menempatkan isu disabilitas sebagai isu kesejahteraan sosial dan belum memosisikannya sebagai isu hak asasi manusia yang bersifat multisector. Hal ini menggarisbawahi pentingnya peningkatan pemahaman dan perspektif disabilitas bagi setiap pihak yang terkait dengan proses legislasi.

Lebih lanjut, Peneliti dan Manajer Program, PUSAD Paramadina, Husni Mubarok, memaparkan strategi yang diperlukan baik bagi pengambil kebijakan, pemuka agama, maupun masyarakat umum dalam mendorong partisipasi aktif setiap kelompok masyarakat terutama penganut kepercayaan/agama minoritas untuk dapat memelihara kohesi hubungan umat beragama secara berkelanjutan.

Baca Juga: Jumlah Transaksi BRIAPI pada 2021 Capai 235,1 Juta atau Meningkat 127,5%

Dia menjelaskan bahwa Forum Kerukunan Umat Beragama perlu memberikan ruang dan proporsi representasi kaum minoritas di kepengurusan. Penguatan kapasitas juga diperlukan dalam mengelola kerukunan dalam perspektif kesetaraan gender, disabilitas dan inklusi social (GEDSI) dan interseksinya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI