Suara.com - Iklim investasi startup di Indonesia tengah menghadapi badai serius. Ketua Steering Committee Indonesia Fintech Society (IFSoc), Rudiantara, secara gamblang mengungkapkan bahwa serangkaian kasus fraud yang menimpa startup Tanah Air telah menyebabkan kekeringan pendanaan yang mengkhawatirkan.
Data yang dipegang Rudiantara menunjukkan penurunan drastis dalam pendanaan startup. Sepanjang kuartal I 2025, investasi yang masuk ke sektor ini hanya mencapai USD30 juta. Angka ini anjlok jauh jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang masih tembus USD1 miliar lebih.
"Pada kuartal I 2025 pendanaan startup hanya USD30 juta dolar, bandingkan periode yang sama tahun lalu yang masih mencapai USD1 miliar dolar lebih," tegas Rudiantara dalam Seminar Nasional CORE Indonesia bertajuk 'Dampak Sosial-Ekonomi dan Keberlanjutan Industri Fintech P2P Lending di Indonesia' di Hotel Bidakara, Jakarta, Jumat (13/6/2025).
Menurut Rudiantara, penurunan tajam ini tak lain dipicu oleh banyaknya kasus fraud yang mendera perusahaan rintisan di Indonesia. Dua kasus yang paling menyita perhatian publik adalah dugaan pemalsuan laporan keuangan eFishery dan kasus penggelapan serta penipuan yang melibatkan pendiri Investree.
"Pas kasus ini meledak, (pendanaan) ini terus turun, saya enggak tahu kuartal II berapa, tapi ini alert buat kita," imbuhnya, menyuarakan kekhawatiran akan dampak lanjutan.
Menyikapi kondisi ini, Rudiantara mendesak para pelaku startup, khususnya yang berada di tahap menengah hingga lanjut (middle-late stage), untuk segera merevisi model bisnis mereka dan memperbaiki tata kelola perusahaan secara menyeluruh.
Tak hanya itu, ia juga mengingatkan para investor untuk tidak sepenuhnya menyalahkan founder.
"Saya bilang Anda jangan 100 persen menyalahkan mereka (founder) karena Anda adalah bagian dari ekosistem startup. Contoh kadang-kadang Anda juga sembarang dalam menunjuk komisaris, yang penting ada secara formal tunjuk saja adiknya, temannya atau keluarganya tapi tidak menjalankan peran sebagai komisaris sebagai pengawas," kritik Rudiantara, menyoroti pentingnya peran pengawasan yang efektif dari jajaran komisaris.
Diketahui, rentetan kasus fraud yang melibatkan startup Indonesia, termasuk eFishery, TaniFund, dan Investree, memunculkan kekhawatiran terhadap masa depan ekosistem startup di tanah air. Kasus ini tidak hanya berdampak pada operasional perusahaan, tetapi juga memengaruhi kepercayaan investor terhadap startup digital di Indonesia.
Baca Juga: Hati-hati, Bank yang Sering Fraud Izinnya Bakal Dicabut
Sebagai contoh saja, eFishery sempat melaporkan pendapatan sebesar 752 juta dollar AS (Rp 12,18 triliun) dengan keuntungan 16 juta dollar AS (Rp 259 miliar) untuk sembilan bulan pertama tahun 2024. B
Namun, data tersebut ternyata tidak akurat. Pendapatan yang sebenarnya adalah 157 juta dollar AS (Rp 2,54 triliun) dengan kerugian sebesar 35,4 juta dollar AS (Rp 573,48 miliar).
Sementara kasus Investree karena memiliki tingkat kredit macet perusahaan yang tinggi dan dugaan pengelolaan dana yang tidak transparan dan tidak sesuai dengan perjanjian hingga akhirnya dibubarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
OJK telah lebih dulu mencabut izin usaha Investree setelah berkutat dengan kasus penggelapan dan penipuan oleh pendirinya, Adrian Gunadi.
Pembubaran Investree dituangkan dalam Akta Pernyataan Keputusan RUPS PT. IRJ No. 44, tertanggal 27 Maret 2025, yang dibuat di hadapan Notaris Dita Okta Sesia, S.H. M.Kn, Notaris di Kota Jakarta Selatan. Akta tersebut menyatakan seluruh pemegang saham Investree telah menyetujui dan memutuskan untuk membubarkan dan melakukan likuidasi terhadap PT Investree Radhika Jaya (dalam likuidasi).
Para pemegang saham juga telah menunjuk tim likuidator yang telah disetujui oleh OJK yaitu Narendra A. Tarigan, Imanuel A.F. Rumondor, dan Syifa Salamah. Pihak yang berkepentingan atas Investree diminta untuk menghubungi tim likuidator untuk menuntut hak mereka.