Antonius mengatakan, PETI disebabkan adanya keterbatasan lapangan kerja, desakan ekonomi, tidak diperlukan syarat pendidikan, tergiur hasil yang instan, dan mudah dikerjakan.
"Pelaku PETI umumnya merupakan masyarakat yang tidak memiliki akses untuk mendapatkan pekerjaan di bidang formal," kata dia.
Menurut Antonius, strategi pemerintah untuk menangani PETI tentunya berlandaskan hukum pertambangan tanpa izin, yakni pasal tindak pidana PETI adalah UU No. 3/2020 jo UU No. 4/2009 pasal 158, 160, 161. Tidak ada dasar hukum lagi selain yang ada di UU tersebut.
"Amunisi dari sisi regulasinya sangat kurang menurut saya. Penafsiran kami adanya kegiatan PETI ini masuk ranah pidana," tegas dia.
Antonius mengungkapkan jika dibandingkan dengan sektor kehutanan atau kelautan, PETI ini sangat berbeda. Di kehutanan ada perangkat untuk mengamankan hutan, demikian juga wilayah laut.
"UU No. 3/2020 bukan UU kewilayahan, tapi UU Pengelolaan untuk mengusahakan minerba," tukasnya
Strategi dan upaya penanganan PETI yang dilakukan Kementerian ESDM, menurut Antonius, dengan melakukan penataan wilayah pertambangan dan regulasi guna mendukung pertambangan berbasis rakyat, meningkatkan peran PPNS dalam pembinaan terhadap pertambangan berbasis rakyat, pendataan dan pemantauan kegiatan PETI oleh inspektur tambang, hingga upaya formalisasi menjadi wilayah pertambangan rakyat dan IPR.
Strategi lain, upaya pemulihan kerusakan lahan bekas PETI, upaya pengendalian peredaran dan penggunaan limbah B3, upaya penegakan hukum, indentifikasi lokasi PETI dengan analisis dan penginderaan jauh.
“Tidak hanya itu, upaya penegakan hukum dilakukan dengan intervensi pemerintah melalui pemberlakuan syarat dokumen penjualan komoditas tambang serta peningkatan pengawasan pemasaran,” katanya.
Baca Juga: Mardani Maming Ditahan KPK
Pemerintah juga melakukan pemutusan rantai pasok bahan baku dan mata rantai penjualan hasil PETI melalui koordinasi bersama Polri dan Pemda. Penguatan pengawasan oleh PPNS berkoordinasi dengan Polri, dan Gakkum KLHK.