Suara.com - Berbagai indikator menunjukkan kondisi perekonomian Indonesia cukup solid untuk menghadapi dampak penyesuaian harga BBM bersubsidi. Pemerintah sebaiknya memanfaatkan momentum ini untuk mengurangi beban subsidi BBM yang memang telah mengganggu stabilitas fiskal APBN.
Demikian ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi dalam sebuah diskusi yang digelar HMI Badko Jabodetabek & Banten di Jakarta.
Kondisi baik perekonomian Indonesia ini, menurut Fithra, diindikasikan dengan deflasi nasional yang diumumkan BPS baru-baru ini, yakni minus 0,21 persen pada kuartal II 2022.
"Ini adalah deflasi yang terbesar setelah 2019. Artinya tekanan inflasi sudah mulai reda. Secara tahunan juga, inflasi pada bulan Agustus 4,69 persen, (dibanding) bulan Juli yang 4,9 persen, itu kan deflasi juga," tutur Fithra Faisal yang juga Direktur Eksekutif Next Policy ini.
Selain itu, manufacturing purchasing managers index (PMI) Indonesia juga naik pada bulan Agustus lalu menjadi 51,7 dari sebelumnya 51,3.
“Artinya perekonomian kita sekarang lagi solid, tekanan inflasi tidak terlalu besar, cenderung turun, maka sekarang adalah momentumnya untuk kenaikan harga," ujar Fithra.
Komunitas pakar kebijakan publik yang tergabung dalam Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI) mengusulkan tiga langkah yang dapat diambil Pemerintah memanfaatkan momentum ini.
Diberi-nama Skenario 3W, tiga langkah itu adalah wajib menyesuaikan harga BBM bersubsidi, wajib menyediakan bantalan pengaman sosial bagi masyarakat, dan wajib melakukan reformasi energi.
“Ini merupakan hasil kajian cepat AAKI untuk mempelajari urgensi dan dampak kebijakan penyesuaian subsidi BBM terhadap berbagai aspek,” ujar Ketua Umum AAKI, Dr–Ing Totok Hari Wibowo.
AAKI menilai, pengurangan besaran subsidi pada BBM, khususnya Pertalite, Pertamax dan solar, wajib dilakukan agar terpenuhinya prinsip-prinsip keadilan, persamaan kesempatan, dan inovasi. Prinsip keadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah adanya pengalihan subsidi dan kompensasi BBM ke sektor lain yang lebih produktif dan berpihak ke rakyat paling membutuhkan, utamanya di sektor kesehatan dan pendidikan.
Langkah penyesuaian subsidi ini sangat tepat sebagai koreksi penyaluran subsidi melalui harga BBM yang selama ini kurang tepat sasaran.
“Konversi subsidi menjadi peningkatan pelayanan publik, bantalan sosial, fasilitas kesehatan, dana pendidikan, dan sebagainya dinilai penting dan mendesak untuk menghentikan pembengkakan subsidi BBM yang sebagian besarnya dibakar di jalanan oleh kelompok yang tidak eligible,” lanjut Totok Hari Wibowo.
Reorientasi Subsidi di APBN
Pemerintah sendiri telah mengumumkan tambahan anggaran bantalan sosial (bansos) senilai Rp24,17 triliun. Bansos ini salah satunya berupa bantuan langsung tunai (BLT). Presiden Jokowi telah memulai pembagian BLT BBM ini secara simbolik melalui Kantor Pos Jayapura, Papua.
Jokowi menyebut BLT ini akan diterima 20,6 juta penerima manfaat. Selain itu, Jokowi menyebut bakal ada BLT untuk 16 juta pekerja. Dengan adanya bantuan ini, Jokowi berharap kemampuan masyarakat menghadapi naiknya harga kebutuhan pokok menjadi lebih baik.