CORE Indonesia: Ada Ancaman Inflasi dan Anjloknya Daya Beli Orang RI

Kamis, 03 Juli 2025 | 19:44 WIB
CORE Indonesia: Ada Ancaman Inflasi dan Anjloknya Daya Beli Orang RI
Ilustrasi. Suasana kemacetan di sepanjang ruas jalan tol dalam kota MT Haryono, Cawang, Jakarta, Senin (7/8/2017), di mana sementara itu BPS mencatat adanya penurunan daya beli otomotif pada semester I-2017. [Suara.com/Kurniawan Mas'ud]

Suara.com - Ketegangan geopolitik yang memanas di Timur Tengah bukan lagi sekadar berita di televisi. Efeknya, seperti peringatan keras dari para ekonom, kini diprediksi bakal menciptakan gelombang kejut berlapis yang mengancam stabilitas ekonomi Indonesia.

Tak hanya ancaman fiskal, lonjakan tensi ini diperkirakan akan memicu inflasi pangan meroket dan daya beli masyarakat merosot tajam.

Laporan terbaru dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia bertajuk "Meredam Guncangan Ekonomi Dari Gejolak Timur Tengah", yang dirilis Kamis (3/7/2025), secara gamblang menyoroti potensi disrupsi pasokan energi. Ancaman penutupan Selat Hormuz, jalur vital bagi pengiriman minyak global, disebut-sebut dapat mengerek biaya impor pangan dan logistik hingga ke titik kritis.

"Biaya logistik yang tinggi menciptakan efek ganda terhadap inflasi pangan, baik dari sisi impor maupun distribusi dalam negeri," tulis CORE dalam keterangan resminya, Rabu (2/7/2025). Ini berarti, siap-siap saja harga bahan pangan di pasar akan terkerek naik dua kali lipat; dari ongkos pengiriman dari luar negeri, hingga biaya distribusi di dalam negeri.

CORE menjelaskan, komoditas strategis seperti gandum, kedelai, dan gula menjadi perhatian utama. Mengapa? Karena tingkat ketergantungan impor Indonesia terhadap komoditas-komoditas ini sangat tinggi. Gandum dan kedelai nyaris 100 persen diimpor, sementara gula berkisar antara 30 hingga 40 persen. Jika harga minyak global melonjak, otomatis ongkos distribusi juga ikut naik, mengingat sistem transportasi darat dan laut Indonesia masih sangat bergantung pada BBM.

Lembaga riset ini bahkan memprediksi dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi akan terjadi dalam dua gelombang. Gelombang pertama adalah tekanan langsung terhadap sektor-sektor padat energi seperti logistik, pertanian, dan perikanan. Selanjutnya, gelombang kedua muncul ketika seluruh pelaku usaha dalam rantai pasok mulai menyesuaikan harga jual mereka sebagai respons terhadap biaya produksi yang membengkak.

"Pada akhirnya, kondisi ini melemahkan daya beli masyarakat dan mendorong pergeseran pola konsumsi ke produk yang lebih murah dan kurang bergizi," terang CORE. Jika ini terjadi, bukan hanya dompet yang tipis, tapi juga kualitas gizi masyarakat bisa terancam.

Pengalaman pahit inflasi tinggi pada 2022 akibat perang Rusia-Ukraina menjadi cermin yang relevan. Saat itu, lonjakan harga komoditas global dan BBM domestik mendorong inflasi tahunan Indonesia menembus angka 5 persen. CORE menggarisbawahi, situasi serupa bisa kembali terjadi jika harga minyak global menembus angka USD 100–130 per barel pada kuartal ketiga hingga keempat 2025.

Analisis CORE terhadap data Indeks Penjualan Riil (IPR) dan Indeks Harga Konsumen (IHK) periode 2014–2023 mengungkap pola yang konsisten: inflasi yang tinggi langsung berdampak negatif terhadap konsumsi rumah tangga. "Lonjakan inflasi menyebabkan penurunan konsumsi rumah tangga secara tajam dalam tiga bulan pertama," kata mereka. Pemulihan baru terjadi secara bertahap dan kembali normal pada bulan ke-20 setelah guncangan.

Baca Juga: CORE Ungkap Gencatan Senjata Iran-Israel Bakal Buntu? Ekonomi RI dalam Ancaman Serius!

Tak hanya itu, tekanan inflasi juga berdampak pada sisi produksi industri. CORE mencatat bahwa ketika IHK melonjak, IPR turun signifikan. Penurunan terdalam terjadi pada bulan ketiga pasca-inflasi, dengan kontraksi hampir mencapai -10 poin. Ini mencerminkan tekanan berat terhadap dunia usaha yang menghadapi biaya input produksi yang lebih tinggi dan permintaan yang melemah.

Meski demikian, ada secercah optimisme. Tren pemulihan IPR mulai terlihat dari bulan ke-5 hingga ke-12, meskipun belum pulih sepenuhnya. Pada bulan ke-20, indeks kembali ke titik netral, menandakan bahwa aktivitas produksi mulai stabil seiring penyesuaian ekonomi terhadap tekanan harga.

Namun, yang jelas, wilayah terpencil seperti Papua dan Indonesia Timur diprediksi akan menjadi yang paling terdampak akibat tingginya ongkos logistik dan ketergantungan pada energi fosil.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI