Sementara dari segi permintaan, adanya HET membuat konsumen menganggap dapat membeli dalam jumlah banyak dengan pengeluaran yang sama sehingga mengakibatkan permintaan melonjak.
“Tugas pemerintah adalah mencium dimana letak keseimbangannya. Karena pengusaha harus untung agar bisa melanjutkan usahanya dan mengembalikan investasi. Itu petingnya ada mekanisme harga. Kalau dilawan terlalu jauh maka disruptif ekonomi akan cepat dan tidak bisa dikendalikan,” jelas Rizal.
Rizal menilai, saat ini belum ada ekosistem yang baik dalam penerapan kebijakan kontrol harga minyak goreng di Indonesia.
Hal yang senada disampaikan Lukita Dinarsyah Tuwo, mantan birokrat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Kementerian Koordinator Perekonomian.
Dia membenarkan, kelangkaan minyak goreng lebih disebabkan adanya kebijakan HET yang tidak disertai dengan ekosistem memadai.
"Kelangkaan tidak disebabkan oleh tindakan produsen kelapa sawit, tetapi lebih kepada penetapan kebijakan HET yang tidak disertai kelengkapan persyaratan yang memadai agar kebijakan HET bisa berjalan dengan baik," kata Lukita.
Lukita menjelaskan kebijakan HET bisa saja berhasil, asalkan pemerintah mempunyai lembaga seperti PT Pertamina (Persero) untuk minyak goreng.
"Buat saya bahwa kelangkaan lebih terkait kebijakan HET yang tidak dilengkapi prasyarat lainnya, antara lain keberadaan lembaga seperti Pertamina yang memproduksi dan mengontrol distribusi sampai ke tingkat konsumen sulit terlaksana dengan baik," katanya.