Suara.com - Penerapan produk dam layanan berbasis Internet of Things (IoT) di Indonesia tidaklah semudah membalik telapak tangan. Masih banyak tantangan dihadapi, antara lain keterbatasan sumber daya manusia (SDM).
Seperti ditunjukkan Survei Literasi Digital Kemenkominfo pada 34 provinsi (2020) kepada 1.670 responden, menunjukkan kemampuan adaptasi teknologi masyarakat relatif belum bagus.
Kemampuan ini jika ditambah kompetensi akses informasi dan literasi data, komunikasi dan kolaborasi, serta keamanan digital, survey menunjukkan skor keseluruhan literasi digital Indonesia 3,47 dari 5.
Riset Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada tahun 2021 menunjukkan, jumlah keterhubungan berbagai macam perangkat IoT lebih banyak dibandingkan jumlah smartphone yang terkoneksi.
Penelitian ini logis karena koneksi IoT secara teori dan praktek tak harus selalu dioperasikan oleh manusia melalui ponsel cerdas. Simak saja bagaimana perangkat-perangkat di pabrik, yang tanpa dioperasikan manusia, alat komputasi tersebut dapat saling mengobrol mencetak berbagai produktivitas tanpa lelah dan tanpa mengenal waktu secara mandiri, atau dengan kata lain perangkat-perangkat ini dapat bekerja otomatis.
Sekalipun demikian, menurut Vice President Startup Bandung/Chief Digital eCommerce Fintech Sharing Vision Nur Islami Javad, masih diperlukan talenta digital khusus IoT, terutama di level teknis operasional.
Hal ini karena, jumlah talenta operational IoT yang mumpuni saat ini masih terbatas, terlebih lagi kebutuhan terhadap talenta tersebut terus meningkat seiring industri IoT yang semakin berkembang.
"Kebutuhan SDM teknis operasional seperti dari SMK banyak dibutuhkan. Sebab, di level operasional startup yang saya perhatikan, belum banyak SDM level operasional yang mampu mengoperasikan, maintenance, produksi, dan seterusnya," ujarnya, Rabu (5/7/2023).
Di saat bersamaan, sambung Jeff, sapaannya, SDM level ahli di bidang IoT juga diperlukan. Hal ini terlihat dari banyak nya alumni kampus di Bandung terutama engineer dari Teknik Industri, Teknik Fisika, Fisika, MIPA, Elektro, Informatika, Matematika, dan sejenisnya, yang direkrut untuk bekerja di posisi yang berhubungan dengan IoT.
Dia mencontohkan e-Fishery, sebuah startup akuakultur Bandung yang baru mencapai status unicorn, sebagai salah satu entitas yang aktif merekrut SDM skala ahli tersebut, namun masih kesulitan untuk bisa merekrut secara agresif SDM pada level operasional.
Iwan Hermawan, Ketua FAGI (Forum Aksi Guru Indonesia) Jawa Barat mengatakan, SDM dari SMK itu potensial walaupun sering disebut sebagai penyumbang terbesar pengangguran.
"Itu tak bisa dipukul rata. Sepengamatan saya, ada siswa SMK di Jabar itu kelas tiga saja sudah ditunggu jadi karyawan perusahaan konglomerasi besar, banyak juga yang langsung magang hingga jadi karyawan di luar negeri di salah satu negara maju seperti Jepang. Ini semua akan tergantung pada kompetensi siswa, guru, dan sekolahnya dulu," jelas dia.
Menurut dia, untuk SMK dengan prodi mapan, lulusannya yang kompeten jarang yang mengganggur. Apalagi konsep teaching factory sudah lama dijalankan, banyak SMK di Indonesia termasuk di sektor ICT, yang membuat alumni tidak gagap masuk industri.
Melihat potensi IoT dan tantangan SDM di dalam nya, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (Telkom), melalui Leap Telkom Digital berkontribusi aktif untuk menyiapkan SDM level operasional IoT tersebut dengan baru saja merilis Kelas Industri Digital IoT (KiDi IoT).
KiDi IoT merupakan solusi IoT di sektor pendidikan dari Antares dan merupakan salah satu brand dibawah naungan Leap Telkom Digital yang ditujukan khusus untuk pelajar dan guru SMK. Metode yang digunakan dalam pembelajaran adalah project based learning berbentuk teaching factory dalam pembuatan usecase IoT.
Perilisan KiDi IoT Antares ini juga selaras dengan tujuan Telkom yaitu untuk Mewujudkan bangsa yang lebih sejahtera dan berdaya saing.