Suara.com - Pengembangan listrik panas bumi mengalami kemajuan yang relatif lambat dibandingkan jenis pembangkit listrik lainnya di berbagai negara.
Menurut Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, meskipun panas bumi memiliki potensi untuk menyediakan listrik dengan harga lebih murah, sektor ini menghadapi tantangan besar.
“Biaya investasi awal yang tinggi serta kesulitan dalam menemukan sumber panas bumi yang tepat menjadi kendala utama,” jelas Komaidi, Kamis (29/8/2024).
Selain Komaidi, pembicara lain pada webinar itu adalah Wakil Ketua Komisi VII DPR H Eddy Soeparno, Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Yudha Permana Jadyadikarta, dan Dina Nurul Fitria, Anggota Dewan Energi Nasional.
Menurut Komaidi fleksibilitas lokasi pembangunan yang terbatas membuat investor cenderung lebih memilih pembangkit listrik berbasis fosil, yang meskipun memiliki biaya operasional tinggi, namun dianggap lebih menguntungkan.
Komaidi menegaskan bahwa intervensi kebijakan pemerintah sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan sektor panas bumi.
Di sisi lain, H. Eddy Soeparno, Wakil Ketua Komisi VII DPR menyoroti pentingnya pengembangan energi panas bumi sebagai bagian dari upaya penurunan emisi dan mencapai target Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060. Indonesia, yang memiliki cadangan panas bumi sekitar 23 GW, saat ini baru memanfaatkan sekitar 10,3% dari kapasitas tersebut.
“Akselerasi pengembangan panas bumi sangat penting, tidak hanya untuk mencapai target emisi, tetapi juga untuk ketahanan energi nasional,” kata Eddy Soeparno.
Peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT Pertamina Geothermal Energy, PT PLN, dan PT Geo Dipa Energy sangat penting dalam pengembangan ini. Namun, Eddy menekankan bahwa kolaborasi lintas sektor antara Kementerian/Lembaga dan para pemangku kepentingan lainnya sangat diperlukan.
Baca Juga: Kontribusi Sektor Geothermal ke PNBP Tahun 2023 Naik 34,8 Persen
Meskipun Indonesia memiliki potensi yang besar, investasi di sektor panas bumi cenderung menurun, dari 1,18 miliar USD pada 2018 menjadi sekitar 740 juta USD pada 2023. Penurunan ini mengindikasikan bahwa kerangka regulasi yang ada belum cukup optimal.
Eddy Soeparno menyoroti perlunya revisi kebijakan untuk memberikan kepastian dan daya tarik lebih bagi investor di sektor panas bumi. Ia juga menyatakan komitmen Komisi VII DPR RI untuk menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET) dan revisi kedua UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
“Kita harus memastikan regulasi yang ada mendukung dan mendorong pengembangan energi panas bumi,” tambahnya.
Yudha Permana Jayadikarta, Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), menekankan bahwa PLTP menghadapi tantangan besar dalam hal risiko eksplorasi dan kebutuhan investasi yang signifikan. Tahap eksplorasi, khususnya pengeboran uji, merupakan fase dengan risiko tertinggi dan biaya besar.
“Percepatan program ‘Government Drilling’ sangat penting untuk mengurangi risiko di sektor hulu,” ungkap Yudha.
Dia juga menyarankan peninjauan ulang terhadap Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 tentang Harga Patokan Tertinggi PLTP agar lebih sesuai dengan struktur biaya dan nilai keekonomian. Dukungan pemerintah dalam hal kebijakan perdagangan karbon dan sinkronisasi regulasi juga diperlukan.