Studi ini juga menunjukkan bahwa narasi ekosistem industri nikel belum sepenuhnya mendukung transisi energi bersih karena pengolahan nikel masih mengandalkan captive power batu bara yang menghasilkan emisi GRK tinggi. Dari kapasitas 18 gigawatt (GW) pembangunan PLTU yang direncanakan pemerintah, 13 GW untuk mendukung industri nikel.
Akuntabilitas dan transparansi data perlu ditingkatkan agar hilirisasi nikel selaras dengan tujuan transisi energi bersih. Dari beragam narasi yang berkembang, studi ini menyoroti pentingnya kolaborasi dan koordinasi multipihak baik pemerintah, industri tambang nikel dan pengolahannya, serta masyarakat sipil untuk memastikan kepentingan ekonomi, perlindungan sosial, dan lingkungan dapat berjalan bersama.
Menanggapi geliat industri nikel yang semakin berpeluang menciptakan Green Jobs, Taufik Achmad, Deputi Direktur Industri Hijau Kementerian Perindustrian mengatakan, “Smelter nikel akan menunjang transisi energi. Namun di dalam proses produksinya kalau tidak melakukan dekarbonisasi ya percuma. Jadi, ada beberapa teknologi yang digunakan untuk meningkatkan recovery dan menekan pencemaran.” kata Taufik.
Geliat hilirisasi ini, tambah Achmad, masih didominasi sektor energi. Untuk sektor manufaktur dan industri pengolahan nonmigas saat ini masih belum tersentuh.
Selain menunjang transisi energi, keberadaan smelter nikel berpotensi pada terciptanya Green Jobs yang tidak hanya untuk smelter itu sendiri. Namun, menciptakan Green Jobs di berbagai industri manufaktur yang berkaitan dengan nikel.
“Kebutuhan energi yang besar dalam smelter apabila digantikan dengan energi baru terbarukan (EBT) tentu akan menciptakan Green Jobs tidak hanya di smelter itu sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan EBT di smelter, diperlukan berbagai manufaktur yang menghasilkan EBT. Misalnya, manufaktur solar panel, wind turbine, dan manufaktur low carbon lainnya,” ujar Reza Rahmaditio, Critical Minerals Transition Project Lead WRI Indonesia.
Dengan kata lain, hilirisasi nikel ini berpotensi tidak hanya untuk produksi nikel, tapi sebenarnya hilirisasi nikel ini bisa memberikan spill over effect pada industri-industri pendukung, terutama industri smelter.
Rantai pasok nikel secara keseluruhan disoroti oleh Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI). Dia mengungkapkan berbagai tantangan yang dihadapi perusahaan nikel Indonesia. Salah satunya paspor baterai yang harus dimiliki nikel Indonesia apabila ingin jalan-jalan ke Eropa, yaitu ESG. Padahal, Indonesia belum memiliki regulasi ESG untuk minerba.
Tantangan ini senada dengan hasil studi Koaksi Indonesia yang menunjukkan bahwa hilirisasi nikel berimplikasi terhadap risiko bisnis. Standar keberlanjutan tertentu yang diterapkan Amerika Serikat dan Uni Eropa misalnya akan menyebabkan nikel Indonesia sulit menembus dua pasar itu.
Dengan situasi saat ini, Meidy dan APNI menegaskan perlunya mencari solusi bersama.
Baca Juga: Proyek 3 Juta Rumah Butuh Terobosan, SIG Tawarkan Solusi Ini
"April tahun ini, kami akan menggandeng Responsible Mining Initiatives (RMI), Nickel Institute, pakar-pakar dunia untuk melihat. Jangan membuat daftar yang hanya sesuai untuk Eropa karena beda sekali prosesnya. Kami harus meng-handle 300 tambang yang ada di kepulauan. Tentu, efeknya ada pekerjaan baru, namun perlu ada training yang proper, tunjangannya sudah layak belum, apakah sudah comply dengan kehidupan mereka di sana?” ungkap Meidy.