Suara.com - Kebijakan tarif resiprokal yang digulirkan Amerika Serikat (AS) tidak hanya menjadi pukulan telak bagi kinerja ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam, namun juga memicu gelombang kejut yang mengancam stabilitas makroekonomi domestik secara keseluruhan.
Tekanan hebat kini membayangi fiskal negara, memaksa pemerintah untuk bersiap menghadapi tantangan yang semakin berat.
Peneliti Ekonomi Center of Reform on Economic atau CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengatakan dampak kebijakan proteksionis AS berpotensi merambat ke berbagai lini perekonomian.
"Menurunnya volume ekspor dan kontraksi aktivitas manufaktur berpotensi langsung menggerogoti pundi-pundi penerimaan negara dari sektor pajak, mulai dari pajak ekspor, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hingga Pajak Penghasilan (PPh) badan," tulis Yusuf dalam Riset terbaru Core Indonesia betajuk "Manuver Strategis Indonesia Menghadapi Badai Tarif Resiprokal" dikutip Kamis (24/4/2025).
Di sisi lain, menurut Yusuf depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang tak terhindarkan akibat ketidakpastian global, akan mengerek beban pembayaran utang luar negeri pemerintah yang mayoritasnya berdenominasi dalam mata uang Paman Sam. Kondisi ini semakin mempersempit ruang fiskal yang sudah tertekan.
Tak berhenti di situ, tekanan inflasi akibat mahalnya barang-barang impor juga menjadi momok tersendiri. Pemerintah diprediksi harus menggelontorkan anggaran lebih besar untuk belanja sosial dan subsidi demi menjaga daya beli masyarakat yang rentan terhadap guncangan harga.
Situasi dilematis ini memaksa pemerintah untuk melakukan realokasi anggaran yang menyakitkan atau bahkan melebarkan defisit fiskal, sehingga ruang gerak untuk mendanai program pembangunan dan pemulihan ekonomi jangka menengah menjadi semakin terbatas.
Ketidakpastian yang menyelimuti perdagangan global akibat tensi dagang AS juga memicu volatilitas pasar keuangan global, yang berimbas langsung pada Indonesia. Arus keluar modal (capital outflow) menjadi fenomena yang mengkhawatirkan, melanda berbagai instrumen investasi, mulai dari pasar saham, obligasi negara, hingga instrumen jangka pendek seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Investor global kini cenderung mengambil sikap "wait and see", menahan diri dari investasi berisiko di negara berkembang, atau bahkan menarik dananya dan mengalihkannya ke aset-aset yang dianggap lebih aman (safe haven).
Baca Juga: Gelombang Susulan Tarif Trump: Ekonomi RI di Ambang Ketidakstabilan
Tendensi arus keluar modal ini sudah terlihat jelas dalam dinamika pasar keuangan domestik. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa dalam sebulan terakhir, Indonesia mencatat capital outflow yang cukup signifikan. Pada pekan kedua Maret 2025, tercatat arus keluar sebesar Rp 10,15 triliun, dengan rincian Rp 5,25 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), Rp 2,97 triliun di SRBI, dan Rp 1,92 triliun di pasar saham.
Tren negatif ini berlanjut pada pekan ketiga Maret, dengan tambahan capital outflow sebesar Rp 4,25 triliun, yang didominasi oleh aksi jual bersih (net sell) investor asing di pasar saham dan SRBI. Secara kumulatif, hingga 26 Maret 2025, total capital outflow telah mencapai Rp 33 triliun secara year-to-date (YTD). Angka ini mendekati level tertinggi saat krisis pandemi Covid-19 pada tahun 2020 yang mencapai Rp 43 triliun, menjadi sinyal bahaya yang tidak bisa diabaikan.
Dengan tekanan fiskal yang semakin mengimpit dan arus modal yang terus keluar, pemerintah Indonesia kini dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Realokasi anggaran yang berpotensi mengorbankan program pembangunan jangka menengah, atau melebarkan defisit fiskal dengan segala risikonya, menjadi opsi yang mau tidak mau harus dipertimbangkan.
Stabilitas makroekonomi yang selama ini terjaga dengan susah payah kini berada di ujung tanduk. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis dan taktis untuk memitigasi dampak negatif kebijakan tarif resiprokal AS ini, sekaligus menjaga kepercayaan investor dan stabilitas pasar keuangan domestik. Alarm ekonomi telah berbunyi kencang, dan respons cepat serta tepat dari para pemangku kebijakan sangat dibutuhkan untuk menghindari dampak yang lebih buruk bagi perekonomian Indonesia.