Selain risiko iklim dan utang, kebutuhan biaya yang sangat besar untuk pengembangan infrastruktur gas juga membuka celah korupsi yang signifikan. debtWATCH dan Trend Asia mengingatkan pada kasus korupsi pengadaan LNG di PT Pertamina pada periode 2011-2021 yang menyeret mantan Direktur Utama perusahaan tersebut sebagai tersangka.
"Dana miliaran dolar yang terus mengalir untuk proyek LNG lebih banyak menciptakan risiko utang, korupsi, dan pencemaran lingkungan dibanding memberikan manfaat bagi rakyat. Kasus korupsi pengadaan LNG menunjukkan investasi LNG adalah area yang rawan penyelewengan dana dan tidak memberikan manfaat nyata bagi ketahanan energi Indonesia,” tegas Diana Gultom.
Laporan ini juga menyoroti kerentanan proyek gas terhadap sengketa geopolitik. Proyek LNG Blok Tuna di Laut Natuna Utara, yang berdekatan dengan Laut Cina Selatan yang menjadi area sengketa, menjadi contoh nyata risiko ini. Insiden kapal penjaga pantai Tiongkok yang mendekati lokasi pengeboran pada tahun 2021 dan respons Indonesia dengan mengerahkan kapal perang menunjukkan potensi konflik yang dapat mengganggu operasional proyek dan stabilitas kawasan.
Dampak negatif pengembangan infrastruktur gas juga dirasakan langsung oleh masyarakat di tingkat lokal. Di Desa Cilamaya, Karawang, puluhan petani kehilangan mata pencaharian akibat alih fungsi lahan sawah menjadi proyek PLTG Jawa 1 yang menggunakan LNG. Selain itu, area tangkap dan penghasilan nelayan menurun drastis akibat kerusakan ekosistem laut di wilayah eksplorasi proyek.
Menutup laporan tersebut, Novita Indri kembali menekankan urgensi untuk beralih dari ketergantungan pada bahan bakar fosil. “Dampak krisis iklim sudah terjadi dan ekspansi penggunaan gas hanya akan membawa kita pada bencana iklim yang tak berkesudahan dan multidimensi. Ketergantungan pada bahan bakar fosil ini harus segera disudahi dan bertransisi ke energi terbarukan adalah solusinya,” katanya.