Suara.com - Beberapa saat lalu publik diramaikan dengan keputusan raksasa baterai asal Korea Selatan, LG Energy Solution Ltd (LGES) yang mundur dari royek ambisius bernama 'Proyek Titan'. Keputusan ini menambah panjang daftar investor asing yang memilih angkat kaki dari proyek-proyek strategis pengembangan baterai EV di Tanah Air.
Sebelumnya, pada Juni 2024, dua investor besar asal Eropa, yakni BASF SE (Jerman) dan Eramet SA (Prancis), juga memutuskan untuk mengakhiri keterlibatannya dalam megaproyek smelter nikel hidrometalurgi Sonic Bay di Teluk Weda, Maluku Utara. Proyek senilai miliaran dolar ini digadang-gadang akan menjadi penopang utama ekosistem baterai EV di Indonesia.
Dengan hengkangnya LGES dari Proyek Titan pada April 2025, Indonesia tercatat telah kehilangan setidaknya tiga investor kunci dalam proyek baterai EV hanya dalam kurun waktu 10 bulan terakhir. Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai daya tarik investasi di sektor hilirisasi nikel dan pengembangan baterai EV di Indonesia.
Lebih mengkhawatirkan lagi, hingga saat ini pemerintah belum memberikan informasi perkembangan terkini mengenai sejumlah proyek baterai EV lain yang melibatkan investor besar, seperti Hon Hai Precision Industry Co (Foxconn) dari Taiwan dan Britishvolt dari Inggris. Ketidakjelasan ini semakin menambah keraguan terhadap realisasi ambisi Indonesia di kancah industri baterai EV global.
LGES Terdepak dari Proyek Titan, Pemerintah Sebut karena Negosiasi Berlarut-larut
LGES secara resmi mengumumkan alasannya mundur dari Proyek Titan yang bernilai investasi US$7,7 miliar (sekitar Rp129,84 triliun) pada Jumat (18/4/2025). Perusahaan asal Korea Selatan itu menyebut "perubahan kondisi pasar" sebagai alasan utama di balik keputusannya. Proyek Titan sendiri merupakan proyek strategis nasional yang melibatkan konsorsium Korea Selatan (termasuk LGES) bersama dengan Indonesia Battery Corporation (IBC).
Namun, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Perkasa Roeslani memberikan klarifikasi yang berbeda. Menurutnya, keluarnya LGES dari Proyek Titan merupakan keputusan terminasi kontrak dari Pemerintah Indonesia, bukan inisiatif perusahaan Korea Selatan tersebut.

Menurut eks Dubes RI untuk Amerika Serikat itu, pemerintah berinisiatif untuk mengakhiri kerja sama karena negosiasi pelaksanaan proyek senilai US$9,8 miliar (Rp165,32 triliun) dengan LGES cenderung berjalan lambat dan berlarut-larut. Surat terminasi perjanjian kerja sama bahkan telah diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 31 Januari 2025 dan ditandatangani oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, yang kemudian dikirimkan kepada CEO LG Chem Ltd dan LGES.
Lebih lanjut, Rosan mengungkapkan bahwa minat Zhejiang Huayou Cobalt Co asal China menjadi salah satu faktor pendorong keputusan untuk mengakhiri kerja sama dengan LGES. Perusahaan asal China tersebut dinilai lebih berkomitmen untuk memimpin konsorsium di Proyek Titan.
Baca Juga: 8 HP Sejutaan dengan Baterai Jumbo dan Memori 128 GB, Tidak Menguras Isi Dompet!
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sendiri menegaskan bahwa secara keseluruhan, proyek hilirisasi bijih nikel menjadi baterai EV di Indonesia tidak mengalami perubahan mendasar. Menurutnya, yang terjadi hanyalah penyesuaian mitra investasi dalam struktur joint venture (JV) proyek senilai hampir US$8 miliar (sekitar Rp135 triliun) tersebut.