"Tingkat utilisasi industri keramik kuartal I tahun 2025 ini telah menunjukkan perbaikan, meningkat ke level 75 persen," kata Edy dikutip dari ANTARA.
Namun ia menegaskan, peningkatan ini belum maksimal karena masih terhambat oleh distribusi gas.
Padahal dukungan kebijakan pemerintah seperti Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP), Bea Masuk Anti Dumping (BMAD), dan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) telah membantu industri dalam negeri bersaing.
Menurutnya, subsidi gas industri melalui kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) harus segera diimplementasikan sesuai regulasi, yakni 7 dolar AS per MMBTU untuk bahan bakar dan 6,5 dolar AS untuk bahan baku.
"Terlebih untuk Jawa bagian Timur yang seharusnya tidak ada kendala tentang suplai gas, namun dilaporkan adanya gangguan di hulu yang membutuhkan waktu perbaikan sampai dengan Oktober," tambah Edy.
Ia menambahkan bahwa HGBT mampu menurunkan komponen biaya energi dalam struktur modal produksi sebesar 23–26 persen.
Kebijakan ini memberikan multiplier effect yang besar, seperti investasi baru, penciptaan lapangan kerja, serta peningkatan penerimaan negara melalui pajak.
HGBT sendiri saat ini menyasar tujuh subsektor industri yakni pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, dan sarung tangan karet, dengan tarif subsidi ditetapkan sebesar 6,5 dolar AS per MMBTU.
Dengan masih belum optimalnya distribusi gas dan belum serasinya pelaksanaan di lapangan, para pelaku industri berharap agar pemerintah dapat segera menyelaraskan visi dan pelaksanaan teknis antar lembaga.
Baca Juga: SBMA Tebar Dividen Tunai Rp 1,1 Miliar
Jika tidak, maka kebijakan strategis yang dirancang di pusat tidak akan memberikan dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi nasional.