Suara.com - Harga emas PT Aneka Tambang Tbk (Antam) pada hari Senin, 19 Mei 2025 untuk ukuran satu dibanderol di harga Rp1.894.000 per gram.
Harga emas Antam itu lompat tinggi sebesar Rp23.000 dibandingkan hari Minggu, 18 Mei 2025 sebelumnya.
Sementara itu, harga Buyback (beli kembali) emas Antam dibanderol di harga Rp1.738.000 per gram.
Harga buyback itu juga melonjak Rp23.000 dibandingkan dengan harga buyback hari Minggu kemarin.
Seperti dilansir dari laman resmi Logam Mulia Antam, berikut adalah harga emas antam pada hari ini:
- Emas 0,5 gram Rp997.000
- Emas 1 Gram Rp1.894.000
- Emas 2 gram Rp3.728.000
- Emas 3 gram Rp5.567.000
- Emas 5 gram Rp9.245.000
- Emas 10 gram Rp18.435.000
- Emas 25 gram Rp45.962.000
- Emas 50 gram Rp91.845.000
- Emas 100 gram Rp183.612.000
- Emas 250 gram Rp458.765.000
- Emas 500 gram Rp917.320.000
- Emas 1.000 gram Rp1.834.600.000
Harga Emas Dunia Masih Tertekan
Harga emas mengalami tekanan berat sepanjang pekan lalu dan mencatat kinerja mingguan terburuknya sejak November, dengan harga ditutup di dekat USD 3.204,45 per troy ounce.
Seperti dilansir dari FXempire, penurunan ini setara dengan koreksi lebih dari 3,6 persen dalam sepekan. Pelemahan tersebut didorong oleh meredanya permintaan terhadap aset safe haven seiring membaiknya hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, serta penguatan signifikan dolar AS.\

Emas, yang sempat menyentuh titik tertinggi sepanjang masa bulan lalu, mengalami likuidasi besar-besaran karena pelaku pasar melepas posisi lindung nilai. Aksi tersebut merupakan respons terhadap menurunnya risiko geopolitik dan ekspektasi yang memudar terhadap pelonggaran kebijakan agresif oleh Federal Reserve.
Baca Juga: Harga Emas Resmi Pegadaian Terjun Bebas Lagi Pada Minggu, Berikut Daftarnya
Pendorong utama pembalikan harga emas berasal dari kesepakatan antara Washington dan Beijing untuk memberlakukan jeda selama 90 hari pada sebagian besar tarif perdagangan. Dalam perjanjian tersebut, AS memangkas bea masuk dari 145 persen menjadi 30 persen, sementara China mengurangi tarifnya dari 125 persen menjadi 10 persen.
Kesepakatan ini dipandang sebagai langkah positif untuk mengakhiri perang dagang yang telah berlangsung lama, sekaligus memicu meningkatnya selera risiko global. Dampaknya, permintaan terhadap emas sebagai lindung nilai menurun tajam.
Menurut analis pasar Jim Wycoff dari Kitco, pergerakan harga emas sepanjang pekan lalu merupakan gelombang likuidasi selama seminggu yang didorong oleh berita-berita utama yang fluktuatif dan penurunan premi risiko global.
Sementara itu, dolar AS mencatat kenaikan mingguan keempat berturut-turut, memperburuk tekanan terhadap emas. Kuatnya harga impor dan lonjakan ekspektasi inflasi konsumen yang meningkat menjadi 7,3 persen dari bulan sebelumnya sebesar 6,5 persen memicu permintaan terhadap dolar.
Kondisi ini turut mendongkrak imbal hasil obligasi pemerintah AS dan semakin menekan minat investor terhadap emas yang tidak memberikan imbal hasil.
Meskipun beberapa data ekonomi, termasuk sentimen konsumen, menunjukkan pelemahan, sentimen utama pasar tertuju pada peningkatan permintaan terhadap dolar dan berkurangnya minat investor untuk menjaga posisi defensif. Hal ini tercermin dalam penurunan permintaan terhadap produk investasi emas seperti ETF dan pasar fisik yang menunjukkan pelemahan.
Pasar masih memperkirakan bahwa Federal Reserve akan memangkas suku bunga sebanyak dua kali sebelum akhir tahun ini, kemungkinan dimulai pada bulan September. Namun demikian, keyakinan investor terhadap prediksi tersebut mulai melemah.
Data penjualan ritel dan indeks harga produsen (PPI) pekan lalu tidak memberikan sinyal yang cukup kuat untuk mendorong pelonggaran kebijakan moneter. Pengeluaran konsumen tetap cukup tangguh, sementara tekanan harga di tingkat produsen masih terjaga.
Kini, fokus pasar beralih kepada komentar pejabat Federal Reserve dan arah kebijakan moneter yang akan diambil. Di tengah meningkatnya ekspektasi inflasi meskipun CPI inti menunjukkan penurunan, pelaku pasar menanti apakah nada dovish yang sempat muncul dari pembuat kebijakan akan berkembang menjadi langkah nyata atau justru kembali menjadi lebih berhati-hati.
Bagi emas, ketidakpastian ini menjadi hambatan tambahan. Tanpa sinyal yang jelas dari The Fed mengenai pivot kebijakan, ruang kenaikan harga emas cenderung terbatas, sementara tekanan jual masih berpotensi berlanjut.
Memasuki pekan baru, prospek harga emas masih dibayangi sentimen bearish. Meski CPI inti bulan April lebih rendah dari ekspektasi, lonjakan ekspektasi inflasi konsumen jangka panjang hingga 7,3 persen menciptakan keraguan atas kemungkinan pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat.
Situasi ini mendukung dolar dan menambah tekanan pada emas.
Minat institusional terhadap emas juga melemah, dengan pelaku pasar mempertimbangkan kembali potensi aksi The Fed dalam waktu dekat. Kekuatan data penjualan ritel dan PPI menunjukkan bahwa ekonomi masih cukup tangguh untuk menahan inflasi, sementara ekspektasi inflasi yang tinggi bisa mendorong kebijakan moneter tetap ketat.
Tanpa adanya tekanan geopolitik baru atau perubahan sikap dovish yang eksplisit dari The Fed, emas diperkirakan masih akan berada di bawah tekanan.
Kecuali jika komentar mendatang dari The Fed secara tegas menolak prospek kenaikan suku bunga riil atau menyatakan perubahan kebijakan jangka pendek, rotasi modal menuju aset berisiko kemungkinan akan terus berlanjut. Dalam lingkungan dengan permintaan safe haven yang menurun dan ketidakpastian inflasi yang masih tinggi, emas akan terus menghadapi hambatan dalam jangka pendek.
Secara teknikal, harga emas masih berada dalam tren naik jangka menengah, namun momentum jangka pendek mengarah ke bawah. Jika harga bergerak di bawah pivot utama USD 3.166,46, tekanan jual diperkirakan akan meningkat, dengan target selanjutnya di USD 3.018,52.
Dukungan utama berada di swing bottom USD 2.956,56. Apabila level ini ditembus, maka moving average 52 minggu di kisaran USD 2.707,24 akan menjadi target koreksi berikutnya.
Sementara beberapa pedagang mungkin akan membeli saat harga menyentuh level support, kondisi saat ini menunjukkan bahwa aksi jual saat harga naik juga meningkat, mencerminkan perubahan sentimen pasar secara menyeluruh.