Suara.com - Kalangan industri mulai beteriak soal pasokan gas dikabarkan akan mengalami penurunan, khususnya kuota pemanfaatan harga gas bumi tertentu (HGBT). Kondisi ini tidak hanya menurunkan kinerja produksi, tetapi juga mulai memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin Aromatik Plastik (INAPLAS), Fajar Budiono, menjelaskan bahwa terdapat dua persoalan besar yang tengah dihadapi pelaku industri.
"Ada dua persoalan yaitu, pasokan dan harga. Pasokan gas turun karena adanya maintenance di sejumlah titik prioritas, sementara harga gas yang tinggi berpengaruh langsung terhadap harga jual, sehingga kita tidak bisa bersaing," ujar Fajar di Jakarta, Selasa (19/8/2025).
Selain itu, beban industri kian berat karena adanya pembatasan volume HGBT. Dalam aturan yang berlaku, pelanggan hanya diperbolehkan memanfaatkan volume gas HGBT sebanyak 48 persen.
Sementara itu, penggunaan gas di atas kuota tersebut dikenakan surcharge 120 persen dari harga USD 14,8 per MMBTU atau setara USD 17,8 per MMBTU. Skema ini membuat biaya produksi semakin tinggi dan mempersempit ruang gerak industri untuk menjaga daya saing.
Dia menjelaskan, persoalan tersebut semakin menekan industri plastik nasional yang saat ini sedang berhadapan dengan gempuran produk impor, khususnya dari China.
"Industri saat ini masih bertahan dari serbuan barang impor asal China, terutama bahan baku plastik. Dulu mereka masih menjadi importir, sekarang sudah beralih menjadi eksportir. Kita sudah kewalahan, apalagi harga barang dari China jauh lebih murah," kata Fajar.
Kondisi ini dinilai berdampak langsung terhadap utilitas pabrik dalam negeri yang semakin rendah. Beberapa perusahaan bahkan sudah menghentikan produksinya karena tidak mampu lagi bersaing.
"Dampaknya, utilitas kita menurun, bahkan ada satu pabrik yang kini sudah berhenti produksi karena tidak mampu bersaing dengan produk dari China," pungkas Fajar.
Baca Juga: SKK Migas Klaim Pasokan Gas Industri Mulai Lancar
Fajar menyebut, pembatasan kuota gas dan tingginya harga akan menekan rantai industri hilir. Jika hal ini tidak segera dihentikan, industri hilir yang menjadi penopang banyak lapangan kerja bisa terpuruk, dan pada akhirnya ketergantungan pada produk impor akan semakin sulit dihindari.
"Saat ini utilitas sudah menurun, bahkan bisa semakin turun. Saat ini, sudah ada yang menghentikan produksi. Dalam waktu dekat industri hilir pasti terdampak, dan dalam jangka panjang impor dipastikan akan semakin meningkat," imbuhnya.
Fajar berharap pemerintah segera turun tangan untuk memberi kepastian. Ia menegaskan, data dan kebijakan yang diambil harus berdasarkan kondisi riil di lapangan.
"Faktanya, utilitas industri terus menurun dan PHK semakin banyak. Pemerintah diharapkan bisa melakukan pendataan dengan benar dan melakukan crosscheck," pungkasnya.