Suara.com - Tekanan eksternal meningkat seiring kebijakan perdagangan Amerika Serikat yang cenderung agresif melalui tarif resiprokal. Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan etidakpastian ini memicu gejolak pasar keuangan dan memengaruhi proyeksi pertumbuhan global yang diturunkan IMF dari 3,3% menjadi 2,8%.
Lantaran, konsumsi rumah tangga tetap tumbuh 4,89% (yoy) meski sedikit lebih rendah dari triwulan IV 2024. Namun, masyarakat lebih memilih perbesar alokasi tabungan. "Momentum Idulfitri 2025 menurut Andry, tetap menjadi pendorong, meski masyarakat mulai menunjukkan kecenderungan memperbesar alokasi untuk tabungan," katanya dalam paparan virtual, Senin (19/5/2025).
Pada saat yang sama, inflasi tahunan hingga April 2025 tercatat 1,95%, mencerminkan kondisi harga yang terkendali. Menurut Andry, normalisasi tarif listrik usai program subsidi menjadi penyumbang utama kenaikan terbatas tersebut. Andry menambahkan, peluang akselerasi tetap terbuka melalui sinergi kebijakan fiskal dan moneter yang efektif dalam menjaga daya beli dan mendorong investasi.
Hal ini dapat diukur lewat sektor pertanian yang menunjukkan kinerja impresif, didorong program intensifikasi seperti pompanisasi dan distribusi pupuk. Peningkatan produktivitas juga diharapkan melalui langkah ekstensifikasi, termasuk pembukaan lahan baru secara terencana.
“Sektor-sektor terkait mobilitas, seperti transportasi, perhotelan, informasi dan komunikasi, serta hiburan, terus menopang pertumbuhan. Pergeseran gaya hidup menuju konsumsi berbasis pengalaman mendorong perputaran ekonomi di sektor jasa,” ungkap Andry.
Dia juga menilai, harga komoditas yang masih relatif tinggi tetap memberikan kontribusi positif terhadap ekspor dan pendapatan perusahaan. “Meski terjadi koreksi harga, margin masih berada dalam level wajar dan mendukung stabilitas sektor eksternal,” imbuh Andry.
Menurut analisa Tim Ekonom Bank Mandiri, kebijakan moneter Bank Indonesia diperkirakan tetap akomodatif sepanjang 2025, dengan ruang pelonggaran terbuka selama stabilitas harga dan nilai tukar terjaga. Di sisi lain, akselerasi realisasi belanja pemerintah akan menjadi bantalan penting menghadapi ketidakpastian global.
Lebih lanjut dari sisi daya beli, riset Mandiri Spending Index (MSI) hingga 11 Mei 2025 mencatat level 257,9 poin, mencerminkan pemulihan belanja masyarakat pasca-Lebaran.
Libur hari Buruh, dan Waisak menjadi salah satu faktor pendorong peningkatan konsumsi masyarakat, terutama pada kategori transportasi dan perjalanan. “Belanja masyarakat tercatat naik signifikan di awal Mei, meski kemudian mengalami normalisasi wajar. Provinsi tujuan wisata seperti DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur mencatat kenaikan tertinggi selama periode libur panjang,” imbuhnya.
Sementara itu hingga periode kuartal I 2025, fungsi intermediasi perbankan menunjukkan moderasi dengan pertumbuhan kredit 9,16% (yoy) pada Maret 2025 secara industri. Meski demikian, likuiditas menjadi lebih ketat dengan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 4,75% dan LDR yang naik menjadi 88%.
Baca Juga: OJK Sebut Emak-emak Pelaku UMKM Sering Terkena Penipuan Layanan AI
Sebelumnya, Bank Indonesia merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi RI pada 2025 ke level yang lebih rendah dari 5,1%, sejalan dengan memburuknya kondisi global. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memperkirakan ekonomi masih akan tumbuh pada rentang 4,7% hingga 5,5%, dengan titik tengah 5,1%, namun berpotensi lebih rendah.
“Dipengaruhi secara langsung kebijakan AS [Amerika Serikat], yang menurunkan ekspor ke AS. Dampak tidak langsung akibat penurunan permintaan ekspor dari mitra dagang lain Indonesia, terutama dari China,”imbuhnya.
Proyeksi tersebut senada dengan estimasi terbaru dari Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) yang merevisi ke bawah ekonomi Indonesia dari 5,1% menjadi 4,7% pada 2025.
Tidak hanya itu, Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025 menjadi 4,7 persen. Pada laporan awal tahun, Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5,1 persen pada tahun 2025.
Angka ini turut menjadi bagian dari proyeksi perlambatan ekonomi yang diperkirakan akan melanda kawasan Asia Timur dan Pasifik (East Asia and Pacific/EAP), yang diperkirakan hanya tumbuh 4,0 persen tahun depan.
Seperti dilansir dari laporan Bank Dunia yang bertaju "East Asia and Pacific: Technology, Reforms, and Cooperation Pathways to Future Prosperity", Bank Dunia menyebut, penurunan proyeksi ini disebut sebagai akibat dari meningkatnya ketidakpastian global yang berimbas langsung pada kepercayaan bisnis dan konsumen, sehingga menghambat laju investasi serta konsumsi masyarakat.
Selain itu, Bank Dunia menyoroti pembatasan perdagangan global dan pelemahan pertumbuhan ekonomi dunia semakin menekan permintaan ekspor negara-negara di kawasan EAP, termasuk Indonesia. Sedangkan, angka kemiskinan di kawasan EAP diperkirakan akan terus menurun. Sekitar 24 juta orang diproyeksikan keluar dari garis kemiskinan berpendapatan menengah ke atas antara tahun 2024 dan 2025, mencerminkan adanya ruang untuk optimisme di tengah tekanan ekonomi global.