Suara.com - Upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas dan daya saing industri padat karya akan fokus pada deregulasi dan tenaga kerja. Pada Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan deregulasi untuk meningkatkan daya saing industri padat karya dan menjaga keberlangsungan industri.
Selain itu, Prabowo kembali menegaskan komitmen pemerintah untuk melindungi tenaga kerja di tengah meningkatnya ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri padat karya.
Prabowo mengatakan bahwa pemerintah akan terus berupaya melakukan deregulasi untuk memangkas sistem perizinan yang terlalu banyak dan berbelit. "Buang semua regulasi yang tidak masuk akal, permudah semua proses untuk pengusaha," ujarnya seperti dikutip, Senin (19/5/2025).
Ia menambahkan bahwa industri padat karya seperti tekstil dan produk tekstil (TPT) perlu terus didukung, termasuk melalui penguatan dan pemberdayaan pasar domestik dengan pendekatan dan strategi ekonomi yang tepat.
Masalah lainnya yang dihadapi industri padat karya adalah perkiraan ancaman PHK terhadap 50 ribu buruh dalam waktu tiga bulan ke depan. Industri padat karya menyerap sekitar 14 persen dari total tenaga kerja di Indonesia.
"Kita punya BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK) yang bisa memberi bantuan yang tadinya tiga bulan, sekarang menjadi enam bulan. Kalau ada buruh yang terlantar, kita akan lindungi dan bantu," kata dia. Prabowo.
Selain TPT, industri padat karya juga meliputi industri makanan dan minuman, industri tembakau, industri alas kaki, industri furnitur, industri garmen, industri kulit, dan industri pakaian jadi, serta lainnya.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyoroti, kerentanan sektor padat karya, khususnya karena kebijakan terkait industri padat karya dan tenaga kerja ini erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini terutama penting jika pemerintah ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2029.
Said juga menyoroti situasi di industri hasil tembakau. Ia berharap agar pemerintah mempertimbangkan regulasi yang mengatur sektor ini, terutama yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
Baca Juga: Industri Padat Karya Tertekan, Pemerintah Diminta Fokus pada Keberlangsungan Usaha
"Duduk bersama dan petakan, buat kebijakan, dan kalau memang ada kebijakan kesehatan yang mau dikeluarkan, jangan sampai menghantam hingga PHK. Bila terjadi PHK, pengangguran meningkat, kemiskinan naik, maka pertumbuhan ekonomi bisa terganggu. Rokok kan menyumbang PDB Indonesia," kata dia.
Said juga memperingatkan tentang kebijakan tarif resiprokal tinggi dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang diperkirakan dapat berpotensi menyebabkan badai PHK selanjutnya. Oleh karena itu, Said mendorong pembentukan Satuan Tugas (Satgas) PHK sebagai langkah untuk mencegah hal tersebut.
"Dan ada persetujuan dari Pak Prabowo untuk membuat Satgas PHK. Dengan persetujuan ini, kemudian akan ada langkah-langkah menghindari tekanan kebijakan tarif dan kebijakan lain yang justru memunculkan potensi PHK," imbuh dia.
Said Iqbal juga menyoroti kekhawatiran serius terhadap dampak sosial-ekonomi dari penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang membatasi kandungan gula, garam, lemak (GGL), serta menerapkan larangan zonasi penjualan dan iklan rokok.
Serikat pekerja menilai, jika kebijakan ini terus berjalan tanpa evaluasi, potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) secara masif di sektor IHT semakin nyata.
Kekhawatiran ini diperkuat oleh kondisi ekonomi global yang tidak stabil, termasuk dampak dari kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang memperburuk ketidakpastian ekonomi nasional.