Pengamat: Pengembangan EBT Bisa Terpinggirkan Jika Pemerintah Masih Gunakan PLTU

Kamis, 05 Juni 2025 | 07:59 WIB
Pengamat: Pengembangan EBT Bisa Terpinggirkan Jika Pemerintah Masih Gunakan PLTU
Ilustrasi PLTU. (Suara.com/Yandi Sofyan)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pengamat energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengkritik langkah Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang dianggap melemahkan komitmen Presiden Terpilih Prabowo Subianto dalam mewujudkan kemandirian energi berbasis sumber daya terbarukan.

Ia menyatakan bahwa pernyataan Bahlil soal program pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) bertentangan langsung dengan visi energi berkelanjutan yang selama ini digaungkan Prabowo.

"Kalau kita mencermati komitmennya Prabowo untuk mencapai swasembada energi dengan mengembangkan resource yang dimiliki, artinya itu mengarah pada pengembangan energi baru dan terbarukan di negeri ini. Nah, untuk itu PLN sebenarnya sudah menyusun RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) dengan rencana pensiun dini PLTU," ujar Fahmy saat dihubungi Suara.com, Rabu (4/6/2024).

Namun, menurut Fahmy, kebijakan tersebut justru dilemahkan oleh langkah-langkah Menteri Bahlil, yang dalam beberapa kesempatan menyampaikan keberatannya atas program pensiun PLTU dan lebih mengedepankan kelanjutan investasi batu bara.

"Saya sudah beberapa kali menyampaikan hal ini ke Pak Bahlil, bukan hanya sekali. Tindakan beliau justru melemahkan upaya PLN dan dalam konteks ini bisa saya katakan bertentangan dengan komitmen energi terbarukan dari Prabowo sendiri," tegas Fahmy.

Fahmy menyayangkan bahwa pernyataan Bahlil soal pensiunkan PLTU oleh Bahlil, atau wacana mengaitkan kebijakan ini dengan dukungan pembiayaan, berpotensi mempertahankan dominasi batu bara sebagai sumber energi utama.

Akibatnya, pengembangan energi terbarukan jadi terpinggirkan.

Menanggapi alasan negara-negara Eropa pun masih menggunakan batu bara dari Indonesia, Fahmy menyebut penggunaan batu bara oleh Eropa hanya bersifat sementara akibat krisis energi yang dipicu oleh konflik Rusia-Ukraina.

"Eropa Barat sebenarnya paling komit dalam penggunaan energi baru terbarukan. Namun karena invasi Rusia dan sanksi dari Amerika membuat pasokan gas terganggu, mereka terpaksa kembali menggunakan batu bara sementara agar tidak mengalami pemadaman," jelasnya.

Baca Juga: Arsari Tambang Gunakan EBT untuk Pasok Listrik ke Smelter

Fahmy menekankan, sesaat pasokan energi stabil, negara-negara Eropa akan kembali ke sumber energi bersih. Ia juga membandingkan dengan Amerika Serikat di bawah Donald Trump, yang secara terbuka keluar dari Paris Agreement dan mendukung penggunaan batu bara semata-mata untuk alasan bisnis.

"Trump itu pragmatis, dia cari yang paling murah. Tapi kita tidak bisa ikut-ikutan begitu. Ketika Bahlil atau Hashim mengatakan bahwa Amerika saja masih menggunakan batu bara, kenapa kita tidak boleh? Itu logika yang keliru," katanya tegas.

Menurut Fahmy, Indonesia harus menghindari dampak buruk penggunaan batu bara yang ekstrem, seperti yang pernah dirasakan Jakarta dengan kualitas udara yang sangat buruk.

"Kita bukan mau mengalami itu. Kalau tetap bertahan dengan energi kotor seperti batu bara, maka dampaknya akan semakin parah bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat," ujar dia.

Dalam pandangan Fahmy, solusi terbaik adalah tetap menjalankan roadmap PLN seperti yang tertuang dalam RUPTL. Program pensiun PLTU sudah dirancang secara bertahap berdasarkan umur ekonomi pembangkit.

"Kalau sesuai dengan rencana dari PLN, sebenarnya tidak masalah. Pensiun dilakukan ketika umur ekonominya habis, dan statusnya sudah ada penggantinya berupa pembangkit energi terbarukan. Itu sudah direncanakan dengan baik," kata Fahmy.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI