Suara.com - Perekonomian Indonesia menunjukkan sinyal yang mengkhawatirkan di era Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Data terbaru mengindikasikan bahwa masyarakat masih menahan diri untuk berbelanja, sementara sektor manufaktur tertekan hebat.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah stimulus pemerintah cukup kuat untuk mendongkrak kembali roda ekonomi?
Dalam riset terbaru Core Indonesia bertajuk "Setengah Daya Pacu Ekonomi" yang diterima Suara.com pada Selasa (17/6/2025) terlihat cerminan nyata dari keengganan masyarakat untuk membelanjakan uang. Dimana indeks Penjualan Riil pada Mei 2025 diprediksi turun 0,6% secara bulanan, menandakan penjualan ritel yang lebih rendah dibanding bulan sebelumnya.
Perlambatan konsumsi juga terlihat pada kuartal pertama 2025, di mana pertumbuhan konsumsi rumah tangga dalam PDB melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
"Ini menunjukkan bahwa aktivitas konsumsi masih belum pulih sepenuhnya," ungkap laporan itu.
Begitu juga dengan sektor manufaktur, yang menyumbang 21% terhadap ekonomi Indonesia, berada dalam tekanan berat. Menjelang pertengahan triwulan kedua 2025, output dan permintaan baru turun tajam. Penurunan permintaan pada Mei tercatat sebagai yang terdalam sejak Agustus 2021.
Hal ini tercermin dari Indeks PMI (Purchasing Managers' Index) masih bercokol di zona kontraksi, mencerminkan pesimisme para pelaku usaha. Lesunya permintaan membuat perusahaan menahan pembelian dan mengurangi stok.
"Laporan PMI S&P Global bahkan menyebutkan bahwa banyak perusahaan terpaksa menawarkan diskon besar-besaran, meskipun biaya produksi melonjak. Ini artinya, margin keuntungan industri manufaktur semakin tertekan," tulis Core Indonesia.
Baca Juga: Bos Danantara Ungkap Ideal Return Investasi di RI: Minimal 10%
Yang lebih mengkhawatirkan, kepercayaan masyarakat terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan mulai goyah. Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) pada April 2025 turun menjadi 129,8 dari 131,7. Meskipun masih di zona optimis, penurunan ini adalah sinyal jelas bahwa masyarakat mulai pesimis.
Tak hanya itu, harapan terhadap ketersediaan lapangan kerja dan kegiatan usaha ke depan juga ikut menurun. Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja (IEKLK) melemah, begitu pula Indeks Ekspektasi Kegiatan Usaha (IEKU).
Meski pemerintah telah menggelontorkan berbagai stimulus fiskal untuk menggairahkan kondisi ekonomi yang ada, namun realita menurut Core Indonesia hal itu tidak akan tercermin.
Sebagai contoh, program BSU yang menargetkan 17,3 juta pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta per bulan, hanya menjangkau sekitar 18% dari total pekerja yang seharusnya menjadi target bantuan (berdasarkan data BPS, ada sekitar 95 juta pekerja dengan gaji di bawah Rp3,5 juta).
Melihat kondisi yang lesu, tak heran jika lembaga internasional seperti Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 hanya 4,7%. Prediksi ini sejalan dengan perkiraan CORE Indonesia yang menempatkan proyeksi pertumbuhan di kisaran 4,6%–4,8%.
"Stimulus jangka pendek memang diperlukan untuk menggairahkan aktivitas ekonomi. Namun, keberhasilan upaya tersebut sangat ditentukan oleh desain kebijakan itu sendiri, apakah cukup tepat sasaran dan mampu mendorong pemulihan di sisa tahun ini," kata laporan itu lagi.