Suara.com - Prabowo Subianto banyak mengubah kebijakan ekonomi nasional setelah menjadi Presiden RI. Banyak yang menilai visi perekonomiannya condong ke arah Sosialisme.
Penilaian ini bukan tanpa dasar, melainkan bersumber dari pemikiran yang ia tuangkan sendiri dalam bukunya, 'Paradoks Indonesia'.
Lantas, benarkah seorang mantan jenderal dengan latar belakang militer yang kental ingin menerapkan sosialisme di Indonesia?
Apa sebenarnya isi buku tersebut dan bagaimana kita harus menafsirkan Sosialisme ala Prabowo? Mari kita bedah lebih dalam.
![Calon Presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto menjadi pembicara dalam acara bedah buku karyanya sendiri, Paradoks Indonesia, di Hotel Sari Pan Pasific, Thamrin, Jakarta, Sabtu (22/9/2018). [Suara.com/Ummi Hadyah Saleh]](https://media.suara.com/pictures/original/2018/09/22/23803-prabowo-subianto-bedah-buku-paradoks-indonesia.jpg)
Memahami Paradoks Indonesia
Buku Paradoks Indonesia, yang pertama kali terbit pada 2017, merupakan inti dari kegelisahan dan visi ekonomi Prabowo.
Paradoks yang dimaksud adalah sebuah ironi besar: Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan sumber daya alam, namun sebagian besar rakyatnya masih hidup dalam kemiskinan atau belum sejahtera.
Dalam bukunya, Prabowo menyoroti beberapa fakta yang menurutnya mengkhawatirkan.
Pertama, ketimpangan ekstrem. Menurut Prabowo dalam bukunya, kekayaan Indonesia hanya dinikmati oleh segelintir elite.
Baca Juga: Peringkat Daya Saing RI Anjlok 13 Peringkat! Perang Tarif dan Pengangguran jadi Biang Keroknya
Prabowo menyebut bahwa 1 persen populasi terkaya menguasai hampir setengah kekayaan nasional.
Kedua, kekayaan lari ke luar negeri. Ia mengklaim ada ribuan triliun rupiah milik orang dan perusahaan Indonesia yang 'parkir' di luar negeri, jumlah yang jauh lebih besar dari APBN.
Ketiga, sistem ekonomi yang keliru. Menurut Prabowo, setelah era Reformasi 1998, Indonesia meninggalkan jati dirinya dengan mengadopsi sistem ekonomi yang tidak sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.
Intinya, Prabowo melihat sistem ekonomi yang berjalan saat ini telah gagal menyejahterakan rakyat banyak dan justru melanggengkan kekuasaan oligarki.

Kutipan Kunci: Jalan Tengah antara Kapitalisme dan Sosialisme
Di sinilah letak perdebatan utamanya. Untuk memahami gagasannya, penting untuk melihat langsung bagaimana Prabowo merumuskan pemikirannya.
Ia secara eksplisit menolak dikotomi antara dua kutub ekonomi dunia.
Dalam bukunya, Prabowo menulis:
"Kalau saya berpendapat, 'Lho, kenapa kita harus memilih?' Kita mau ambil yang terbaik dari kapitalisme, dan yang terbaik dari sosialisme. Gabungan yang terbaik dari keduanya inilah yang disebut oleh Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, oleh bapak saya Prof. Sumitro, sebagai ekonomi kerakyatan, atau ekonomi Pancasila..."
Kutipan ini adalah kunci. Jelas bahwa yang ia maksud bukanlah sosialisme-komunisme ala Karl Marx yang menghapuskan kepemilikan pribadi.
Sebaliknya, ia menawarkan sebuah sintesis, sebuah "jalan ketiga" yang disebutnya sebagai Ekonomi Konstitusi atau Ekonomi Pancasila.
Lebih lanjut, ia mengkritik penerapan sistem ekonomi yang menurutnya terlalu liberal dan tidak sesuai dengan jiwa UUD 1945.
“Kesalahan terbesar para pemimpin Indonesia setelah reformasi adalah mereka meninggalkan sistem ekonomi kita sendiri yang sebetulnya sudah jelas tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.”
Bagi Prabowo, solusi dari paradoks Indonesia terletak pada keberanian untuk kembali ke sistem ekonomi yang berakar pada konstitusi, di mana negara memegang peran sentral.
Jadi, Apa Maksud 'Sosialisme' ala Prabowo?
Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut, sosialisme yang dimaksud Prabowo bukanlah penghapusan pasar atau kepemilikan swasta.
Visi yang ia tawarkan lebih dekat dengan konsep ekonomi Pancasila atau ekonomi kerakyatan.
Hal itu berarti sebuah sistem yang menekankan peran negara yang kuat untuk memastikan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.
Konsepsi Prabowo itu lebih dekat kepada 'negara kesejahteraan' alias welfare state, model yang banyak dianut negara-negara Skandinavia, di mana kapitalisme tetap berjalan, namun negara hadir secara signifikan untuk menyediakan jaring pengaman sosial.
Program makan siang gratis yang menjadi andalannya bisa dilihat sebagai perwujudan awal dari visi ini.
Selain itu, Prabowo dalam bukunya itu juga menekankan 'nasionalisme ekonomi'.
Fokus utama Prabowo adalah memastikan kekayaan Indonesia dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia, bukan lari ke luar negeri atau hanya dinikmati segelintir orang.
Dari Buku ke Panggung Kebijakan
Gagasan dalam Paradoks Indonesia bukan sekadar tulisan di atas kertas. Visi ini menjadi fondasi bagi program-program yang ia tawarkan selama kampanye dan kini bersiap untuk diimplementasikan.
Tujuannya adalah mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi agar Indonesia bisa keluar dari "perangkap pendapatan menengah" (middle income trap).
Namun, visi ini tentu tidak lepas dari pro dan kontra.
Pihak Pro melihat ini sebagai langkah yang tepat untuk mengatasi ketimpangan dan mewujudkan keadilan sosial.
Peran negara yang kuat dianggap perlu untuk melawan cengkeraman oligarki.
Pihak Kontra khawatir bahwa peran negara yang terlalu dominan dapat mematikan sektor swasta, menciptakan inefisiensi melalui BUMN, dan berpotensi membuka celah korupsi baru.
Label "sosialisme" juga seringkali digunakan sebagai alat politik untuk menakut-nakuti pemilih dengan hantu komunisme.
Bukan Kiri, Tapi Jalan Tengah?
Setelah dibedah, gagasan sosialisme Prabowo ternyata lebih merupakan sebuah proposal untuk jalan tengah.
Ia tidak menolak pasar, namun menginginkan negara memiliki kendali dan peran yang kuat untuk memastikan keadilan dan pemerataan.
Ini adalah visi ekonomi nasionalis yang mengambil elemen dari sosialisme (kesejahteraan sosial, peran negara) dan kapitalisme (tetap adanya pasar).
Istilah sosialisme memang provokatif. Namun, memahami konteks yang Prabowo tawarkan dalam bukunya sangat penting agar kita tidak terjebak dalam perdebatan label semata.
Fokusnya adalah pada substansi: apakah model ekonomi ini mampu menjawab paradoks yang ia kemukakan dan membawa Indonesia menjadi negara maju yang sejahtera dan berkeadilan?