172 Perusahaan Jepang Sudah Bangkrut di Pertengahan Tahun, Ini Faktornya

Kamis, 10 Juli 2025 | 08:40 WIB
172 Perusahaan Jepang Sudah Bangkrut di Pertengahan Tahun, Ini Faktornya
Ilustrasi Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK. [ChatGPT]

Suara.com - Ketidakpastian ekonomi membuat beberapa perusahaan di dunia mengalami kerugian, hingga akhirnya mengungumkan kebangkrutan sepanjang pertengahan tahun.

Di Jepang, jumlah kebangkrutan perusahaan pada paruh pertama tahun 2025 melonjak ke level tertinggi dalam 11 tahun.

Perusahaan-perusahaan yang terdampak oleh kekurangan tenaga kerja menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Dilansir Japan Today, Kamis (10/7/2025), kebangkrutan yang melibatkan utang minimal 10 juta yen naik 1,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, meningkat untuk tahun keempat berturut-turut dan mencapai level tertinggi sejak 2014, menurut Tokyo Shoko Research.

Pengajuan kebangkrutan terus meningkat karena kekurangan tenaga kerja, harga material yang lebih tinggi, dan kenaikan suku bunga yang menghantam perusahaan kecil dan menengah.

Perusahaan dengan kurang dari 10 karyawan menyumbang 89,8 persen dari total kebangkrutan, menghadapi kesulitan dalam merekrut pekerja karena krisis tenaga kerja terus menekan upah.

Berakhirnya keringanan pajak khusus yang diberikan sejak pandemi COVID-19 juga telah menekan usaha kecil, menurut survei tersebut.

Sebanyak 172 perusahaan menyalahkan masalah ketenagakerjaan atas kebangkrutan mereka, seperti kesulitan dalam perekrutan dan karyawan yang meninggalkan pekerjaan mereka.

Angka ini merupakan yang tertinggi dalam periode enam bulan terakhir dan naik dari 146 perusahaan pada tahun sebelumnya.

Baca Juga: Dicalonkan Jadi Dubes Jepang, Ini 7 Kiprah Intelektual Kartini Sjahrir yang Jarang Diketahui

Total liabilitas turun 4,3 persen menjadi 690,2 miliar yen. Apalagi, penambahan perusahaan bangkrut di Jepang diprediksi akan meningkat.

Hal ini seiring dengan tarif Presiden Trump yang akan berlaku pada 1 Agustus mendatang. Pasalnya, Jepang terkena tarif 25 persen.

Dalam suratnya yang ditujukan kepada Presiden Korsel dan Perdana Menteri Jepang yang diunggahnya di Truth Social, Trump mengatakan tarif baru akan terpisah dari semua tarif sektoral lainnya.

"Harap dipahami angka 25 persen jauh lebih kecil dari yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesenjangan defisit perdagangan yang kami miliki dengan negara Anda (Jepang-Korsel)," tulis Trump.

Trump memperingatkan jika kedua negara menaikkan tarif mereka sebagai tanggapan, AS akan menaikkan tarifnya dengan jumlah yang sama.

Adapun untuk Jepang, terjadi peningkatan 1 persen dibandingkan dengan pengumuman pertama yang menyebut tarif 24 persen bagi ”Negeri Matahari Terbit” ini.

"Seperti yang Anda ketahui, tidak akan ada tarif jika, atau perusahaan-perusahaan di negara Anda, memutuskan untuk membangun atau memproduksi produk di Amerika Serikat. Dan, pada kenyataannya, kami akan melakukan segala yang mungkin untuk mendapatkan persetujuan dengan cepat, profesional, dan rutin. Dengan kata lain, dalam hitungan minggu," tulisnya.

Donald Trump Bombardir Iran Tanpa Restu Kongres AS. [Instagram]
Presiden AS, Donald Trump . [Instagram]

Meski sama-sama dikenai tarif 25 persen oleh AS, dampak kebijakan itu mengakibatkan tekanan lebih berat pada perekonomian Jepang ketimbang Korsel.

Perusahaan sekuritas SMBC Nikko Securities memperkirakan kebijakan Trump itu bisa memangkas 0,26 persen poin pertumbuhan ekonomi Jepang tahun fiskal 2025. Upah riil bulan Mei turun cepat dalam dua tahun terakhir.

”Meskipun Jepang kemungkinan besar menghindari skenario terburuk, tarif sebesar 25 persen akan tetap merugikan laba eksportir hingga 25 persen,” kata Kazuki Fujimoto, analis Japan Research Institute.

”Jika laba perusahaan memburuk, sulit untuk mencegah perusahaan mengurangi upaya untuk menaikkan upah,” ucapnya.

Situasi ini juga bisa berdampak pada pemerintahan PM Ishiba. Jajak pendapat media baru-baru ini menunjukkan koalisi yang berkuasa di bawah Ishiba mungkin gagal mempertahankan mayoritas di majelis tinggi, yang dapat mempersulit negosiasi perdagangan.

Setelah daftar lengkap tarif impor diumumkan, banyak yang bertanya-tanya mengapa negara-negara Asia menjadi yang paling banyak terkena dampaknya.

Dikutip dari The Guardian, ada beberapa alasan di balik keputusan Presiden Trump menaikkan tarif untuk negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Thailand, hingga Indonesia.

Salah satu alasan yang disampaikan Trump adalah soal defisit perdagangan. Menurutnya, banyak negara Asia mengekspor lebih banyak barang ke Amerika Serikat dibandingkan yang mereka impor dari sana.

Ketimpangan ini dianggap tidak adil dan menjadi dasar pemberlakuan tarif baru. Meski begitu, para analis mempertanyakan cara Trump menghitung defisit ini dan menilai pendekatannya terlalu menyederhanakan masalah yang kompleks.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI