Suara.com - Krisis ekonomi bukanlah hal baru dalam sejarah keuangan global. Banyak ekonom dan pengamat makro memperkirakan bahwa tahun 2030 akan menjadi titik krisis besar berikutnya, sebuah siklus yang perlu dihadapi secara rasional dan strategis.
Dalam video terbaru yang diunggah kanal YouTube Jejolok pada Selasa (5/8/2025), dibahas secara mendalam tentang pentingnya diversifikasi portofolio ke dalam aset riil yang terbukti tahan banting terhadap gejolak pasar maupun tekanan ekonomi sistemik.
“Krisis adalah siklus yang tak terhindarkan. Pemenangnya adalah mereka yang paling siap, bukan dari sisi mental, melainkan dari struktur aset yang mereka miliki,” ujar narasi dalam video tersebut.
Berbeda dengan pendekatan manajemen risiko konvensional, strategi ke depan lebih menekankan pada pembangunan fondasi kekayaan melalui aset yang berwujud, produktif, dan memiliki likuiditas tinggi.
Tanah Produktif di Lokasi Strategis
Tanah masih menjadi salah satu instrumen investasi paling stabil secara jangka panjang. Kenaikan nilainya memang tidak instan, namun konsisten, terutama di wilayah yang sedang berkembang menjadi kawasan industri, pemukiman baru, atau pusat transportasi.
Tanah di pinggiran kota besar yang mulai berkembang menjadi kota mandiri juga dianggap sangat potensial.
Emas Batangan Bersertifikat
Emas tetap menjadi pelindung nilai utama terhadap inflasi dan depresiasi mata uang. Tidak seperti uang kertas yang bisa dicetak tanpa batas, emas memiliki keterbatasan pasokan, sehingga nilainya cenderung naik saat krisis moneter terjadi.
Baca Juga: Alami Krisis Ekonomi, Anak Muda Ini Terjebak Utang Judi Online
Saham Sektor Konsumsi Primer
Pasar saham memang rawan goyah saat krisis, tapi sektor konsumsi primer justru sering bertahan. Ini termasuk saham perusahaan yang menjual kebutuhan pokok seperti makanan, obat-obatan, hingga produk kebersihan.
Permintaan terhadap barang-barang ini tetap tinggi karena sifatnya yang tidak bisa ditunda.
Surat Utang Negara (SBN)
Surat Berharga Negara (SBN), seperti ORI dan Sukuk Ritel (SR), dinilai sebagai pilihan konservatif namun aman.
Aset ini cocok untuk menjaga likuiditas sambil tetap mendapatkan imbal hasil tetap. Selama pemerintah tetap stabil secara fiskal, risiko dari SBN sangat rendah.
Properti Sewa Produktif
Properti seperti rumah kontrakan, ruko, atau unit apartemen yang disewakan dapat menjadi sumber pendapatan pasif yang konsisten.
Di masa krisis, permintaan rumah sewa justru bisa meningkat karena banyak orang beralih ke tempat tinggal yang lebih terjangkau.
Komoditas Strategis Non-Energi
Logam industri seperti nikel, tembaga, dan aluminium semakin relevan di era transisi energi. Berbeda dengan emas, logam ini memiliki peran penting dalam rantai pasok industri, termasuk kendaraan listrik dan teknologi ramah lingkungan.
Mata Uang Asing Kuat
Menjaga sebagian dana dalam bentuk mata uang asing kuat seperti Dolar AS (USD) atau Dolar Singapura (SGD) bisa menjadi langkah antisipatif. Saat rupiah terdepresiasi akibat tekanan global, mata uang asing tersebut dapat menjadi bantalan nilai aset.
Alat Produksi Mandiri
Memiliki alat produksi seperti mesin kecil, alat pertanian, atau bahkan printer 3D, bisa menjadi penopang ekonomi mikro di masa sulit. Aset ini bisa digunakan untuk menciptakan barang yang dibutuhkan sendiri atau bahkan dijual kembali ke pasar.
Infrastruktur Digital yang Menghasilkan
Di era digital, platform seperti channel YouTube, aplikasi, atau website monetisasi mulai dilirik sebagai aset riil modern. Jika dikelola dengan baik, aset ini mampu menciptakan pendapatan berulang meskipun kondisi ekonomi sedang lemah.
Bisnis Waralaba Kebutuhan Pokok
Bisnis franchise yang menjual kebutuhan dasar seperti makanan pokok, air minum isi ulang, atau sembako, termasuk dalam kategori bisnis yang tetap bisa bertahan bahkan saat daya beli masyarakat menurun. Bisnis model ini juga biasanya memiliki SOP yang jelas dan brand yang sudah dikenal.
Dalam kanal YouTube Jejolok, keseimbangan antara aset riil, penghasil arus kas, dan aset digital merupakan pendekatan yang ideal untuk menghadapi dekade penuh ketidakpastian ini. Tujuannya bukan hanya melindungi daya beli, tetapi juga membuka peluang pertumbuhan bahkan di tengah badai ekonomi global.
Maylaffayza Adinda Hollaoena