Selama proses tersebut, pembeli tidak bisa memanfaatkan tanah atau properti dengan leluasa, sehingga tujuan investasi atau penggunaan pribadi tertunda tanpa kepastian.
3. Kerugian Finansial Tambahan
Selain risiko kehilangan dana utama untuk membeli aset, pembeli juga berpotensi mengalami kerugian finansial tambahan.
Tak jarang biaya jasa hukum dibebankan kepada pembeli seperti biaya advokat, notaris, saksi ahli, pajak, dan denda. Proses pembangunan pada aset yang sudah dibeli pun bisa jadi tertunda akibat sengketa.
4. Konflik Sosial
Tanah sengketa sering melibatkan lebih dari satu pihak, baik individu, keluarga besar, maupun kelompok masyarakat. Pembeli yang masuk ke dalam konflik ini bisa terseret dalam perselisihan yang menimbulkan ketegangan sosial.
Tidak jarang, sengketa tanah berujung pada bentrokan, intimidasi, atau tekanan dari pihak lain yang merasa memiliki hak.
Kondisi seperti ini bukan hanya berbahaya bagi keselamatan Anda dan keluarga, tetapi juga menimbulkan beban psikologis karena pembeli harus menghadapi konflik berlarut-larut. Rasa tidak aman dan stres berkepanjangan sering dialami oleh pihak yang terjebak.
5. Nilai Investasi yang Merosot
Baca Juga: Investasi Properti di Asia Pasifik Tumbuh, Negara-negara Ini Jadi Incaran
Terakhir, harga properti dalam status sengketa bisa saja merosot tajam. Jika sudah begitu, tujuan pembelian properti sebagai investasi bisa tidak tercapai.
Aset yang disengketakan secara otomatis nilainya akan turun di pasaran. Penyebabnya risiko yang terlalu tinggi untuk dibeli.
Investor atau calon pembeli lain enggan melanjutkan transaksi karena status hukum tidak jelas. Akibatnya, properti menjadi sulit dijual kembali.
Bahkan ketika pembeli ingin menjadikannya agunan di bank, pihak perbankan biasanya menolak aset yang status hukumnya tidak bersih. Hal ini membuat potensi keuntungan investasi hilang dan justru berubah menjadi kerugian.
Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni