- Sejumlah pakar dan asosiasi mengungkap adanya praktik mafia kuota impor di Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang diduga menjadi penyebab utama bangkrutnya puluhan perusahaan tekstil dan PHK ratusan ribu pekerja.
- Modus yang digunakan mafia kuota impor ini sangat terorganisir. Mereka memberikan jatah kuota impor yang jauh melebihi kapasitas produksi kepada 22 perusahaan yang sebenarnya hanya dikendalikan oleh 3-4 orang.
- Kuota berlebih ini kemudian diperjualbelikan kepada pihak lain, menciptakan kerugian ekonomi serius dan membanjiri pasar domestik dengan produk impor ilegal.
Suara.com - Kebijakan pengaturan kuota impor di Kementerian Perindustrian (Kemenperin) kembali menjadi sorotan tajam. Meskipun pemerintah gencar menindak impor ilegal, industri tekstil, dari hulu hingga hilir, justru semakin terpuruk.
Direktur Eksekutif Majelis Rayon Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Agus Riyanto, tak main-main dalam menuduh. Ia menyebut bahwa oknum pejabat di Kemenperin bukan hanya terlibat, melainkan menjadi "pemeran utama" dalam permainan kuota impor ini.
"Mereka bukan sekadar terlibat, mereka itu pemeran utama. Yang ilegal itu kuota impornya," tegas Agus, Kamis (25/9/2025).
Agus menjelaskan modus operandi para 'mafia' ini. Sekitar 22 perusahaan, yang sejatinya hanya dimiliki oleh 3-4 orang, mendapatkan jatah kuota impor dalam jumlah yang sangat besar. Kuota 'siluman' ini bahkan disebut diperdagangkan kembali ke perusahaan logistik, padahal aturan melarangnya.
"Perusahaan lain kalau minta 1.000 ton, paling dikasih 300 ton. Tapi yang 22 perusahaan ini bisa dapat sampai 10 kali lipat dari kapasitasnya. Kuotanya bahkan diperjualbelikan," ungkapnya.
Praktik ini, menurut Agus, sudah berlangsung lebih dari lima tahun dengan berbagai modus, mulai dari menggunakan izin perusahaan yang sudah bangkrut hingga mendirikan perusahaan fiktif tanpa fasilitas produksi nyata.
Dampak dari praktik kotor ini sangat nyata dan mengerikan bagi industri dalam negeri. Ketua Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, membeberkan kerugian ekonomi yang serius.
"Impor kain tahun 2016-2017 hanya 500 ribu ton. Sekarang hampir 1 juta ton, dua kali lipat. Akibatnya, industri kain mati," kata Redma.
Ia mencatat, sepanjang 2023-2024, setidaknya 60 perusahaan tekstil gulung tikar. Jika dihitung sejak 2017, jumlahnya bisa mencapai 80 hingga 100 perusahaan. Imbasnya, sekitar 300–400 ribu pekerja kehilangan mata pencaharian.
Baca Juga: Sparks Fashion Academy Gandeng UMKM: Lahirkan Fashionpreneur Muda dan Dorong Ekonomi Kreatif
Redma juga mengeluhkan sikap Kemenperin yang selalu menolak memberikan transparansi data impor per perusahaan dengan alasan rahasia.