- KPPU tengah menyelidiki dugaan kesepakatan penetapan batas maksimum bunga pindar.
- Kasus ini memicu kontroversi karena dinilai hanya menyasar pelaku usaha.
- OJK memang telah menjelaskan bahwa penetapan batas maksimum manfaat ekonomi Pindar diinstruksikan untuk membedakan secara jelas antara platform Pindar yang legal dan ilegal.
Suara.com - Dunia jasa keuangan dan persaingan usaha tengah disorot tajam menyusul sidang dugaan kesepakatan penetapan batas maksimum suku bunga penyelenggara pinjaman daring (Pindar) di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Kasus ini memicu kontroversi karena dinilai menyasar pelaku usaha yang justru bertindak atas arahan regulator.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara (USU), Profesor Ningrum Natasya Sirait, turun gunung menyuarakan pandangannya. Ia menilai dugaan KPPU terhadap pelaku usaha tidak tepat, sebab tindakan penetapan batas bunga yang dilakukan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) adalah bentuk kepatuhan terhadap Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bukan kolusi bisnis.
“Ketika tindakan pelaku usaha dilakukan untuk mematuhi peraturan regulator, motivasinya bukan lagi sekadar mengejar keuntungan, tetapi kepatuhan untuk melindungi konsumen. Logika hukum membedakan antara pelanggaran hukum dan kepatuhan terhadap hukum,” ujar Prof. Ningrum.
Sebelumnya, OJK memang telah menjelaskan bahwa penetapan batas maksimum manfaat ekonomi Pindar diinstruksikan untuk membedakan secara jelas antara platform Pindar yang legal dengan pinjaman online (pinjol) ilegal.
Profesor Ningrum, alumnus University of Wisconsin, AS, menyoroti bahwa KPPU seolah mengabaikan konteks kepatuhan regulasi (regulatory compliance). Dalam berbagai yurisdiksi, tindakan yang didorong oleh regulator diakui sebagai pembelaan yang sah terhadap tuduhan pelanggaran persaingan sebuah doktrin yang dikenal sebagai regulatory defense atau state action doctrine.
“Ketika tindakan pelaku usaha didorong oleh regulator, motivasinya berubah: dari profit maximization menjadi compliance. Inilah yang seharusnya menjadi pembeda antara tindakan yang sah secara hukum dan tindakan yang melanggar hukum,” tegasnya.
Kasus ini menjadi krusial karena menciptakan preseden buruk: pelaku usaha yang patuh demi melindungi konsumen justru menghadapi jeratan hukum.
Prof. Ningrum menyarankan agar KPPU memperhitungkan motif kepatuhan dan tujuan perlindungan konsumen ini. Jika tidak, konsekuensi termahal dari perkara ini adalah menurunnya kepercayaan terhadap kepastian berusaha bagi para investor dan pelaku usaha di sektor Pindar.
Baca Juga: OJK Temukan 8 Pindar Belum Memenuhi Ekuitas Minum Rp 12,5 Miliar
“Biaya dan konsekuensi termahal dari dampak perkara ini adalah menurunnya kepercayaan terhadap kepastian berusaha bagi para investor dan pelaku usaha di masa depan khususnya dalam bisnis pindar,” pungkas Prof. Ningrum